Mereka saling melempar tatap. Kenapa tidak ada seorang pun mencurigai Dipta yang bisa dibilang terlalu sempurna untuk ukuran asisten dosen? Karena sekarang penampilannya lebih terlihat seperti abdi negara dari pada mahasiswa semester akhir.
“Ya, ini saya! Cepat masuk! Orang-orang itu akan mengejar kalian!” Laki-laki itu berseru sambil terus mengawasi keadaan. Matanya memicing pada segerombol pegawai berpakaian formal yang berlari mengejar teman-temannya.
“Apa dia bisa dipercaya sekarang?” Jo mencekal lengan Shaka sewaktu cowok itu hendak menghampiri si asisten dosen.
Shaka mengangguk yakin. “Gue yakin dia bukan mahasiswa biasa.”
Kemudian cowok itu memimpin langkah. Berlari ke arah Dipta sambil menggandeng tangan Nadine. Disusul Jo dan Claire.
“Tunggu.” Dipta menahan bahu Jo ketika cowok itu hendak membuka pintu. “Kamu yang menyetir.”
Jo mendengus sebal, lalu mengambil duduk di kursi kemudi. Dipta segera duduk di sebelahnya. Shaka mengambil bangku tengah, sementara kedua cewek di belakang. Tidak sampai tiga detik setelah memastikan semua sudah memakai sabuk pengaman, Jo langsung menancap gas, melaju dengan kecepatan tinggi.
Nadine kembali bergandengan dengan Claire, keduanya risau, sampai berkali-kali menengok ke belakang. Lain halnya dengan seorang di bangku tengah yang sibuk dengan hipotesisnya sendiri.
Dipta mengeluarkan setengah tubuh bagian atasnya melalui jendela, menggenggam kuat-kuat senapan di tangan. Satu matanya disipitkan mencari fokus. Puluhan peluru ditembakkan untuk menghalangi pandangan si pengemudi Rubicon hitam. Dipta segera mengamankan kembali tubuhnya. Menghempas diri ke kursi, sekali menyeringai puas karena dua peluru tepat mengenai sasaran. Sebuah timah panas meretakkan kaca depan, sementara satu lagi meledakkan ban kiri. Membuat mobil yang mengejar mereka seketika hilang kendali dan menabrak pagar pembatas jalan.
Seluruh tindakannya tidak ada yang lepas dari tatapan misterius Shaka. “Lo bukan mahasiswa, 'kan?”
Jelas pertanyaan itu ditujukan pada siapa, Dipta menoleh seraya menarik satu sudut bibir. “Memang bukan.”
****
“Selama ini lo tinggal disini?”
Dipta membalas pertanyaan Claire sembari membuka pintu kontainer. “Ya.”
Kontainer itu tersembunyi di balik bukit yang cukup jauh dari perkotaan, berdekatan dengan jalur kereta api, serta sungai tercemar sampah. Tidak cukup buruk, karena disini mereka bisa menyaksikan lanskap matahari yang mulai menguning di ujung barat, menyuguhkan siluet separuh pemukiman kumuh di pinggiran kota.
“Kalian pasti lapar, 'kan? Mau buat api unggun?”
Tidak ada penolakan dari semua orang. Karena pada kenyataannya mereka memang lapar. Sebotol air mineral berukuran satu setengah liter yang Dipta berikan pun sudah tandas sejak tadi. Semiris itu.
“Kalau begitu, siapkan perapian. Ada kayu bakar disana.” Dipta menunjuk ke belakang kontainer di mana tumpukan kayu berada.
“Ada P3K nggak, Kak?” tanya Nadine di sela kegiatannya.
“Ada di kontainer.”
“Gue ambil, ya?”
“Ambil aja” Sesaat setelah mengambil kotak P3K dari dalam kontainer, Nadine menarik pergelangan tangan Shaka, mengajaknya duduk agak jauh dari semua orang, di dekat sungai, di belakang kontainer.
Jo yang paling aktif bergerak. Sebagai pengalihan pikiran agar dia tidak terus mengingat kabar terakhir dari sang Papa soal keadaan Ibunya. Cowok itu menjatuhkan tumpukan kayu bakar dan menatanya. Sesekali menghela sambil menahan sesal yang membuat rongga dadanya serasa dicabik-cabik. Jo duduk di potongan kayu dan menunduk dalam. Diam-diam menjatuhkan setitik air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHAKA
Teen Fiction[TERBIT] #1 winner - beteradiksi writing challenge Ancaman drop out tidak begitu berarti pada empat mahasiswa semester 6 kelewat berantakan ini. 1. Arshaka Nathaniel Alvarez - Teknik Kimia. Prestasinya kian merosot semenjak kecelakaan mobil yang dia...