bab : 2 - remidi

12.3K 1.5K 61
                                    

Matahari menyingsing ke ujung barat. Menyisakan setitik cahaya jingga menuju ungu pekat ketika ojek online itu menurunkan Nadine di depan rumahnya. Gadis itu mengayun langkah. Mendekati pintu dan memutar kenop pintu lalu masuk. Sudah tidak sabar membaringkan tubuh di kasur kesayangannya.

Tiba-tiba suara Keenan mengejutkan. Bahkan sebelum gadis itu sempat melepas sepatu."Lo bikin ulah apa di kampus?" Kakaknya menghampiri.

Kening Nadine berkerut bingung. "Gue gak ngerasa bikin ulah, kok."

"Terus," Keenan mengangkat sebuah amplop warna merah gelap tepat di depan wajah Nadine, "kenapa bisa di-blacklist?"

Masih dengan kerutan jelas di antara alisnya, Nadine mengambil amplop itu, menarik selip surat di dalamnya. Sontak menelan ludah ketika membaca isi surat tersebut.

"Disitu tertulis kalau lo joki kunci jawaban UAS. Bener?" tukas Keenan.

"Maaf, Kak."

Mendengar jawaban lirih itu, Keenan berdecak. "Lo mikir nggak, sih, kalau ini melanggar integritas akademik?"

"Waktu itu gue lagi butuh duit buat beli buku modul, Kak," bela si gadis, dilanjutkan dengan suara yang lebih lirih, "karena gue gak mau ngerepotin lo lagi."

"Udah tahu ngerepotin kenapa nggak kuliah aja yang bener?!" Vokal Keenan meninggi.

"Niat gue cuma bantu," cicit Nadine lirih.

"Nggak gini caranya, Nad." Keenan menghela napas, meredam emosi. Terdiam beberapa detik. "Lo dapet ancaman drop out."

Nadine menunduk sesal.

"Lo mau lulus, 'kan?" Keenan melihat adiknya mengangguk pelan. Laki-laki itu merebut kertas di tangan Nadine, menunjukkan halaman kedua. "Disini tertulis bakal diadain seleksi kelas rehabilitasi khusus murid blacklist sebagai kesempatan kedua. Gue mau lo ikut."

Setelah melihat adiknya mengangguk untuk kedua kalinya, Keenan menyimpan kembali benda itu. "Lain kali kalau mau apa-apa dipikirin dulu akibatnya. Jangan ceroboh! Ngerti?"

Nadine menunduk. "Ngerti, Kak."

****

Perih merambat ketika air dingin yang mengucur dari shower itu menabrak punggungnya. Membasuh bekas jahitan, imbas dari kecelakaan empat bulan lalu. Cowok itu menunduk, mengepalkan tangan ke dinding basah. Membuat air mengalir melalui ujung rambut dan pucuk hidung bangirnya.

"Puas kamu setelah bikin malu Ayah?"

Shaka melengos.

"Sekarang katakan, berapa kali kamu berulah?"

"Banyak." Sama sekali tidak ada penyesalan tatkala sang ayah menginterogasinya di ruang tengah dengan pertanyaan bertubi-tubi.

"Nggak kapok? Bahkan namamu di-blacklist." Tapi Arjuna tidak melihat rasa bersalah di wajah putranya. "Nggak malu?"

Shaka menunduk, menatap sepatu putih yang ujungnya sedikit kotor karena debu.

Melihat putranya tidak merespons, Arjuna menghela napas. "Tidak lama lagi kampus akan mengadakan seleksi khusus mahasiswa bermasalah seperti kamu. Ayah tidak mau tau, kamu harus direhabilitasi."

"Brengsek!" Shaka mengarahkan kepalan tangannya ke dinding kamar mandi. Mumukulnya berkali-kali karena kesal.
Bimbang. Antara tidak berminat ikut dan gengsi jika tahun depan harus mengulang.

****

Pagi harinya, nama-nama yang mendapat undangan diminta berkumpul di auditorium. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika mahasiswa problematik dikumpulkan jadi satu ruangan. Kacau, gaduh, berisik.

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang