Alih-alih mempelajari materi mata kuliah, Shaka lebih bersemangat bermain play station di kamar. Sesekali bibirnya kedapatan mengumpat. Sulit fokus pada permainan.
"Lo mau gue lupain lo selamanya?"
Nadine mengulang kalimatnya untuk menegaskan. "Gue mau lo lupa semua tentang kita di masa lalu."
Sampai satu babak permainan itu selesai, Shaka berada di urutan keempat paling akhir.
"Semuanya. Tentang kita."
"Damn!" Stick game-nya dilempar ke meja. Headphone yang menyumbat kedua telinganya pun dihempas kasar.
Shaka menyisir rambut frustrasi. Mendengus kasar karena kalimat Nadine yang terus mengganggu pikirannya. Mengusik fokusnya seharian. Sampai semua pekerjaan yang dia lakukan tidak pernah tuntas secara maksimal.
Ternyata benar gadis itu yang mengambil setengah peran di hidupnya. Setengah dari memori yang sepenuhnya dia lupakan. Setengah dari jiwanya.
Seseorang mengetuk pintu kamar. Disusul derit panjang dan derap langkah yang datang mendekat. Sampai gerdam setumpuk kertas fotokopian materi dijatuhkan di meja. “Ringkasan materi yang kamu lewatkan semester ini. Ayah minta dari teman sekelasmu. Cepat pelajari dan ikut remedial besok. Pastikan tidak ada nilai D atau E lagi.”
Shaka nyaris menjatuhkan rahang menatap tumpukan kertas yang tingginya nyaris sejengkal. “Sebanyak ini?”
Laki-laki bersetelan kemeja dan celana hitam itu bersedekap. “Itu belum termasuk file yang Ayah kirim ke email kamu.”
“Gila,” decaknya.
“Dulu kamu bisa mempelajari semua hal dengan sangat cepat. Apa sekarang masih sama?” Ada vokal bernada berat dalam kalimat Arjuna.
Helaan kasar dihembuskan. “Nggak tahu, Yah. Saya bener-bener lupa.”
Sang ayah menelisik baret-baret luka di wajah putranya. Serta bekas jahitan melintang di pelipis kiri Shaka. “Kamu bakal butuh waktu lama untuk ingat semuanya.”
Shaka menoleh ke arah laki-laki yang berdiri di sampingnya. “Ayah nggak mau bantu saya?”
“Yang bisa membantumu hanya dirimu sendiri, Shaka.”
Seketika memalingkan muka. Merasa percuma meminta bantuan Arjuna. “Terus saya bisa inget dari mana? Orang terdekat saya aja saya lupa, Yah. Saya harus minta bantuan ke siapa lagi?”
Protes itu diucap dalam satu tarikan napas. Arjuna tahu putranya benar-benar kesulitan menghadapi dirinya sendiri. “Setahu ayah kamu tidak pernah dekat sama siapapun.”
"Gue mau lo lupa semua tentang kita di masa lalu."
Sekali lagi kalimat Nadine terlintas di benaknya. Prasangka mulai muncul ketika Arjuna berucap demikian. “Nadine,” sebutnya. “Siapa dia?”
“Ayah tidak tahu.”
“Ayah pasti tahu.” Shaka berdiri. Menatap sang ayah dengan sorot menuntut.
Arjuna menghela, membenarkan kaca matanya dengan telunjuk. “Siapapun itu, Ayah rasa dia bukan orang yang berarti untuk kamu ingat.”
“Terus bagaimana kalau dia adalah orang yang tahu setengah hidup Shaka?”
Perlu waktu cukup lama untuk menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan Shaka. “Nadine bukan siapa-siapa kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHAKA
Fiksi Remaja[TERBIT] #1 winner - beteradiksi writing challenge Ancaman drop out tidak begitu berarti pada empat mahasiswa semester 6 kelewat berantakan ini. 1. Arshaka Nathaniel Alvarez - Teknik Kimia. Prestasinya kian merosot semenjak kecelakaan mobil yang dia...