bab : 10 - takdir benang merah

6.6K 1.2K 82
                                    

Shaka duduk menatap tetesan air yang jatuh dari genting. Sembari melamun menunggu motornya selesai digarap.

Gemericik mengalun teratur dan tidak berhenti. Jatuh dari dedaunan yang terbawa hembusan angin. Turut mengantar air lembut masuk ke teras bengkel. Gemuruh memekak telinga. Kilat sesekali menyambar. Seolah mampu menjatuhkan mendung abu-abu.

Tubuh kecil itu melayang-layang dan perlahan tenggelam. Menerima sambutan peluk dari dasar sungai yang gelap, sunyi, dan dingin.

Mungkinkah ketakutan seperti ini yang menghantui Nadine bertahun-tahun?

Ketika langit bukan lagi tempat bernaung dan bumi bukan lagi tempat memijak. Ketika raganya nyaris direnggut oleh sungai yang menyeretnya ke dasar secara tidak berperasaan.

“Seburuk tenggelam di lautan. Ketika lo ngerasa mati rasa, di titik di mana lo nggak ngerasa takut sama apa pun, dan lo nggak butuh bantuan siapa pun.”

“Apa gue pernah se-putus asa itu?”

Sebagian manusia merasa putus asa karena tidak ada yang bisa dimintai pertolongan. Lalu saat uluran tangan itu benar-benar datang, dia akan kebingungan. Mencari-cari kebenaran tentang kebaikan Tuhan yang seharusnya tidak perlu diragukan. Seperti kata sajak itu. Terkuburlah. Kemudian tumbuh.

"Motor lo udah selesai, tuh."

Iris matanya bergulir pada gadis yang baru saja menghampiri setelah membereskan peralatan reparasi. Entah sihir apa yang menghipnotisnya saat ini, Nadine mencepol rambut saja terlihat sangat menawan.

"Kakak lo mana?" Cowok itu berdiri.

"Masih beberes di belakang," tunjuknya dengan ibu jari. "Mau gue panggilin?"

"Nggak usah. Gue mau pulang." Tangannya merogoh dompet di saku belakang. Memberikan selembar uang seratus ribuan pada Nadine. "Makasih, ya."

"Bentar, gue ambilin kembalian."

"Bawa aja."

Nadine batal undur diri. Mengikuti langkah si cowok yang hendak menuntun motornya keluar. "Ini kembaliannya—"

"Buat lo beli ramen." Terdengar suara starter motor. Shaka menarik kopling dan menginjak pedal gerigi.

"Kenapa nggak nunggu sampai hujannya reda dulu?" cegah Nadine. Langkah kecilnya mengikuti setiap gerak-gerik Shaka. Seperti tidak mau cowok itu pergi.

Ada jeda cukup lama. Shaka menatap Nadine, begitu pun sebaliknya. Masing-masing hanyut dalam manik cokelat gelap yang punya ketakutan sendiri-sendiri. Seperti Nadine takut kesepian dan Shaka takut kehilangan.

"Tunggu reda dulu, please." Bibir mungil itu memohon lirih.

"Yaudah." Pada akhirnya Shaka mengalah. Mencabut kunci motor kemudian turun. Kedua tangannya dimasukkan saku celana, menatap gadis di hadapannya dengan senyum tertahan. "Sekarang mau apa?"

Nadine perlu mendongak untuk menatap wajahnya. "Kita ngobrol dulu."

****

Almamater merah marun masih melekat ketika Jo sampai di kamar nomor 147. Matanya memandang terenyuh perempuan yang rambutnya mulai botak karena kemoterapi dan wajah menunjukkan penuaan itu terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan kedua mata terpejam rapat.

Kaki panjangnya melangkah menghampiri. Lantas menggeret kursi untuknya duduk. Jo memastikan kardiograf berdenyut konstan. Kemudian mendongak memeriksa infus yang ternyata masih lumayan banyak, seperti habis diganti.

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang