prolog

27.7K 1.6K 86
                                    

disclaimer:
seluruh kejadian, nama, organisasi, latar tempat dan waktu dalam cerita ini adalah fiksi.

note:

may contains the harsh word, violence, and mental illness.

trans: mungkin berisi kata-kata kasar, kekerasan, dan gangguan mental.

****

📍Desember 2021
-Masa bebas setelah kelulusan SMA.

Petang itu, sepulang kelas pukul 5 lebih. Shaka sedang menepi di dekat jembatan untuk merokok sebentar. Menengadah pada langit yang menggelap. Memandangi burung-burung terbang melawan liar angin ribut. Membuat daun-daun kering jatuh berguguran di permukaan bengawan.

Sepertinya badai akan datang. Cowok itu sudah berjanji akan segera pulang setelah menghabiskan sebatang rokok.

Tiba-tiba ponsel di saku celananya bergetar panjang. Sebuah panggilan masuk dan ia langsung mengangkatnya.

"Halo?"

Tidak ada suara apapun yang menyahut. Shaka menjauhkan ponsel dari telinga Mengernyit kebingungan. Menatap ponsel yang sedang terhubung dengan nomor tidak dikenal.

"Halo?"

Sekali lagi ia memastikan. Namun, tetap tidak ada jawaban. Shaka pun menggeram rendah. Lantas memutus panggilan begitu saja.

"Iseng banget, sih, orang-orang," gumamnya sambil menekan ujung rokok ke palang jembatan, kemudian membuangnya ke sungai.

Ketika berbalik, matanya tak sengaja menemukan seorang gadis tengah berjalan di pagar jembatan. Gadis ber-almamater merah marun persis seperti miliknya. Dengan ransel merah muda dan earphone yang menyumbat kedua telinga. Tanpa raut wajah.

"Woy, hati-hati!" serunya mengingatkan.

Gadis itu berjalan di atas pagar sambil melamun. Entah apa yang sedang dipikirkan dan lagu apa yang diputar, sampai seruannya sama sekali tidak didengar.

Shaka khawatir hal buruk terjadi. Semisal-

"Hei, awas!" Shaka memasukkan ponsel ke dalam ransel. Lantas berlari kencang menghampiri.

-si gadis terpeleset.

Shaka terlambat. Mereka sempat bertemu tatap sebelum tubuh kecil nan ringkih itu jatuh ke sungai. Tidak ada ketakutan berarti ketika Shaka menatap wajahnya. Gadis itu malah memejamkan mata seolah sudah siap untuk mati.

Byur!

Shaka mendesis pelan. Gegas melepas ransel. Melemparnya asal ke jalanan. Serta merta memanjat pagar. Melompat tanpa pikir panjang atau ragu sedikitpun.

Burung-burung menyingkir dari sana. Mempersilahkan gemuruh mengambil alih cakrawala. Membiarkan Shaka menguasai sungai untuk beberapa menit saja. Setidaknya sampai ia bertemu bayang gadis berambut cokelat di tengah keruh air sungai.

Sepersekian detik kemudian ia berhasil menemukannya. Tubuh kecil itu melayang-layang dan perlahan tenggelam. Menerima sambutan peluk dari dasar sungai yang gelap, sunyi, dan dingin.

Jemarinya terulur menggapai pergelangan tangan si gadis. Menariknya sekuat tenaga. Lantas dipeluk erat dengan satu tangan. Membawanya berenang ke tepian.

"Hei, bangun." Shaka membaringkannya dengan napas terengah. Merapikan rambut yang menutupi wajah pucat gadis itu. Serta mengusap jejak darah di kening yang sepertinya terbentur batu dengan lengan baju.

"Nadine." Ia memanggil namanya, menepuk-nepuk pipinya, menggoyangkan bahunya, melakukan segala usaha untuk membangunkannya. Namun, gadis itu tetap tidak bergeming. Sehingga Shaka harus melakukan kompresi.

"Ah, sial!" Sudah tiga puluh kali kompresi tidak ada reaksi. Shaka mengangkat dagu si gadis. Jemarinya ditempelkan ke syaraf vena. Denyut nadi masih dapat dirasa meskipun sangat lemah. Kemudian telinganya didekatkan ke hidung Nadine. Tidak ada hembusan napas.

Untuk sesaat Shaka memandang gadis cantik yang kedua matanya terpejam rapat. Terenyuh melihat luka lebam di wajah yang mulai membiru. Tiba-tiba saja ia menangis. Kembali memeluk gadis itu dengan sangat erat. Menyalurkan hangat tubuhnya sehingga Nadine tidak perlu takut akan sendirian lagi.

Shaka mengusap darah di bibir pucat Nadine. Serta merta memejamkan mata, menempelkan bibir dan meniupkan napas buatan. Tindakan itu masih belum berhasil. Jadi Shaka mengulanginya.

Kali ini dengan harapan penuh. Pada setiap tetes hujan yang mendampingi, pada setiap air mata yang membasahi, pada gelegar guntur yang sewaktu-waktu menjemput.

Shaka berharap ...

... bertahanlah sekali lagi.

Bertahanlah untuk hujan-hujanan di musim berikutnya. Bertahanlah untuk film favorit yang akan rilis tahun depan. Bertahanlah untuk hal-hal baik yang menunggu di suatu tempat.

Tuhan, Shaka memohon.

Uhuk! uhuk!

Air keluar dari mulut dan hidung. Shaka segera menyekanya. Nadine merasakan pengar menggila. Kepalanya berdenyut nyeri. Telinganya berdenging.

"Nadine ... "

Suara itu tidak dapat didengar dengan jelas. Keningnya mengkerut menahan sakit di dada setiap kali ia menarik napas, sakit di telinga setiap ia mendengar suara, sakit ketika berusaha membuka mata dan menyapa cahaya.

Pandangannya buram. Telinganya pekak. Sehingga Nadine sulit mengenali siapa laki-laki ini.

Siapapun itu, Nadine enggan berterimakasih.

****

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang