Cuaca sangat cerah pagi hari ini, seakan menyambut gadis yang sudah seminggu terbaring dirumah sakit itu. Hari ini Adara memaksa untuk keluar dari kamarnya karena sudah tidak tahan dengan posisi berbaringnya. Dengan kursi roda sebagai alat jalannya ia dibantu Bu Sekar berjalan mengelilingi taman pusat dirumah sakit tempatnya dirawat.
"Harusnya ibu cek restoran aja, gak usah nungguin Ara. Ara baik-baik aja kok."
Celetuk Adara dengan pandangan yang mengarah pada anak kecil dengan seragam pasien sepertinya. Anak itu terlihat ceria, seakan tidak punya beban tertawa dengan sesama anak kecil disebelahnya. Keduanya seperti lupa untuk apa mereka ada disini, dan sebab apa mereka bisa disini. Ia tersenyum.
"Emang ibu bisa ninggalin kamu sendiri? Dari kecil kamu paling gak bisa jauh dari ibu."
Wanita itu terkekeh, tidak ada yang mengenal Adara sebaik dirinya dan ia bersyukur atas itu. Ia yang hidup sebatang kara, mengabdikan diri untuk bekerja dikeluarga Wiguna hingga kehancurannya, mendapat anugerah menjaga dan merawat Adara semua itu adalah warna hidupnya. Adara adalah putrinya, ia menyayangi dan mencintai Adara dan kedua saudarinya selayaknya putrinya sendiri. Karena dengan adanya mereka, ia banyak belajar tentang hidup.
Adara tersenyum, "Emang ibu bisa hidup tanpa Ara?" Goda gadis itu.
Wanita itu sekali lagi terkekeh, kali ini lebih mendekati ketawa. "Tanpa kamu ibu bukan apa-apa, Ra."
Kemudian ia rasakan puncak kepalanya diusap lembut. Ia menoleh dengan senyumnya yang mampu membuat dunia menyorotinya.
"Bu, kaki Ara kenapa?" Tanyanya setelah sekian lama ia pendam, karena takut membuat mereka sedih. Ia genggam tangan wanita itu yang mulai berlipat, karena termakan usia.
"Ara baik-baik saja kok, kakinya bakalan sembuh kalau Ara mau terapi sampai selesai." Jawab wanita itu sama seperti saat ia ditinggalkan keluarganya dulu, Sekar rasanya masih menganggapnya anak kecil yang harus ditenangkan dan dihibur layaknya ia yang dulu.
"Kalau begitu boleh Ara dirumah aja? Dirawat dan Terapi dirumah biar dokter yang kerumah?"
Wanita itu nampak berpikir, ada baik buruknya gadis itu dirawat dirumah. Tapi bukankah lebih baik dia dirawat disini, karena alat dan pengobatannya lebih lengkap.
"Ibu pikirin dulu ya, sekalian nanti konsultasi ke dokternya."
Adara tersenyum ke wanita yang sudah menjaganya sedari kecil itu.
"Aira awaaassss."
Brakkkkk...
Kursi roda Adara hampir saja oleng jika Sekar tidak segera mengimbanginya. Seorang gadis cilik jatuh terduduk dilantai dengan tangan yang memegangi lututnya.
"Adek gak papa?" Tanya Adara setelah mengembalikan kesadarannya dari rasa shocknya.
Gadis kecil itu menunduk dengan mata yang berkaca-kaca. "Kakak cantik maafin Aira, Aira salah karena.. Aira lari-larian. Maafin Aira Kakak cantik. Huwaaaa..." kata gadis cilik bernama Aira itu terbata-bata menahan tangis.
"Loh eh, kok nangis. Sini, duduk sini."
Tenangmya dengan menepuk kursi samping kursi rodanya yang langsung dituruti oleh gadis itu.
"Namanya Aira, benar?"
Gadis kecil itu mengangguk takut-takut. Adara mengusap rambut panjang Aira dan sedikit mengacaknya karena terlampau gemas.
"Aira kenapa lari-larian tadi?"
"Aira gak mau minum obat, tapi suster Sarah maksa. Terus Aira lari deh, eh, malah nabrak kakak cantik. Maaf ya kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
FATAMORGANA
Teen FictionKarya original _________________ Adira Quinne, gadis berjuta misteri. Sosoknya yang dingin tak tersentuh membuat orang yang ingin mendekatinya harus berpikir ribuan kali. Dibalik sifat dinginnya, tak ada yang menyangka bahwa ia adalah gadis yang ra...