Part 55

100 13 0
                                    

Adara berjalan, membelah kerumunan dan termenung. Disana, didepannya, didepan matanya, kembarannya, adiknya, terbaring tak sadarkan diri dengan tubuh basah kuyup. Beberapa orang berusaha memberikan pertolongan pertama.

"Adila?" Lirihnya.

"ADILA!!" teriaknya begitu sadar bahwa didepan sana benar-benar Adila. Ia segera berlari mendekat.

Rigel, Juna maupun Freya yang mendengarnya segera mempercepat langkah, berlari mendekat.

Akhirnya mereka tau, magnet yang menghubungkan batin antar kembaran begitu kuat, hingga Adara langsung tau Adila, orang yang dicari banyak orang itu berada dihadapan mereka sekarang.

"ADILAA, ADILAA BANGUN!! PLEASE, BUKA MATA KAMU!!." Ia berteriak histeris.

Ia tepuk-tepuk pipi adiknya itu. Sesak. Hatinya sesak dihadapkan dengan kondisi itu.

Ia mengambil alih tindakan orang yang melakukan CPR ke Adila dan mulai menekan kedua tangannya ditengah dada adiknya itu. Seperti yang ia pelajari dulu, ia harus melakukan tekanan sebanyak 30 kali dengan rata kecepatan sekitar 100 kali tekanan per menit. Dengan kata lain, menekan sebanyak 30 kali dalam waktu sekitar 20 detik. Tapi sebelum menekan kembali, dada harus dipastikan kembali seperti semula baru ditekan kembali.

Belum berhasil.

Ia coba buka jalan pernapasan adiknya itu dengan menengadahkan kepala Adila dengan hati-hati, siapa tau jika ada cidera dan berakibat fatal. Kemudian setelah digantikan oleh orang lain, ia jepit hidung Adila dan meniupkan udara kemulut adiknya itu dua kali dalam satu detik.

Tak berselang lama, usahanya berhasil setelah beberapa tiupan udara yang masuk ke pernapasan Adila. Adila terbatuk dan memuntahkan air.

Uhuk.. uhukk..

"Adila, dil, kamu gak papakan?"

Khawatirnya, menatap Adila yang masih menormalkan nafasnya. Begitu sadar dengan siapa yang menanyainya, Adila segera memeluk kakaknya itu.

"Kakak, hiks.. maafin Adila, hiks.. Adila capek, Adila udah terlalu banyak salah, hiks.."

Adara menggeleng dalam ceruk leher adiknya itu, "Nggak, kamu gak salah. Kamu harus tenang, ya. Ada kakak disini." Hiburnya, meskipun dadanya sesak, dan air matanya merangsek berusaha menjebol benteng pertahanannya.

"Kak, Adila capek." Lirih Adila dan terkulai lemas. Pingsan.

Terlalu lelah dengan semua yang menimpanya, serta kondisi tubuhnya yang tidak sedang baik-baik saja membuatnya lemah.

Adara panik, dia mengguncang tubuh Adila dan mengecek nadinya. Masih ada.

"RIGELL, JANGAN DIEM AJA BEGO!! BAWA ADILA KERUMAH SAKIT SEKARANG!!"

Beberapa orang yang mengerumuni mereka segera membantu memindahkan Adila ke mobil yang tadi mereka naiki. Begitupun Rigel. Juna dan Freya diam karena ditangan mereka ada bayi yang tentu saja tidak bisa membantu proses penyelamatan.

__

"Gimana keadaan adik saya, dok?" Serbu Adara begitu dokter keluar dari ruangan tempat Adila diperiksa.

Disana sudah ada yang lainnya, Adira, Rega, Dika, dan semua yang ikut dalam misi pencarian  Adila. Mereka menyerbu Dokter itu bersamaan.

"Pasien sudah baik-baik saja dengan pertolongan pertama yang sudah dilakukan. Selebihnya pasien hanya kelelahan, dan mungkin terlalu stress, sehingga membuat pasien lemah. Alhamdulillah kondisi tersebut tidak mempengaruhi janin dirahimnya." Jelas dokter itu.

Adara menghela nafas lega. Helaan nafas juga terdengar disegala penjuru, merasa lega dengan kabar baik yang mereka terima. "Terima kasih, dok."

"Kalau begitu saya pamit." Setelah dokter itu pamit, beberapa perawat mendorong brankar pasien menuju ruang rawat inap.

Adara berbalik, dan menatap Marvin dan Geisha ia mencium kening salah satu dari mereka yang ada dipangkuan Freya dan Juna. Berharap dengan itu ia bisa meredakan gejolak emosi yang membakarnya.

"Jun, Fre, kalian bawa keluar Marvin sama Geisha, rumah sakit gak baik buat mereka." Katanya, lalu pergi menyusul dimana perawat tadi membawa adiknya.

"Jelasin!" Serbunya begitu ia duduk dan menggenggam jemari Adila. Adira menyentuh bahunya, mengusapnya pelan.

"Gue gak tau persisnya, tapi Adila bener-bener diluar batas setelah lo pergi dari rumah. Gue sama dia gak pernah akur lagi, dan akhirnya gue juga memutuskan keluar dari rumah. Setahun belakangan, kita sama sekali gak berhubungan, Adila juga gak berinisiatif memperbaiki hubungan kita yang udah pecah, gue pun ogah ketemu dia lagi."

Adira menarik nafasnya sejenak.

"Puncaknya, kemarin. Gue ngerasa perasaan gue gak enak. Akhirnya gue pergi kerumah dan nemuin ini dikamar Adila." Katanya sembari menyodorkan stik testpack bergaris dua.

Adara menerimanya, nafasnya tercekat. Meskipun ia tau dari awal kalau Adila hamil dari penjelasan Adira saat itu.

"Rumah acak-acakan dan banyak barang yang pecah. Gue yakin, Adila frustasi dan stress saat itu. Tapi gue gak nemuin dia dirumah. Seharian kita nyari dia, dan gak menemukan hasil. Dan yah, akhirnya lo yang nemuin dia."

Adara diam, Rigel disampingnya menggenggam erat jemarinya. Seolah menyalurkan kekuatan untuknya. Satu tahun, satu tahun dia pergi dan kehidupan adik-adiknya yang ia pikir bisa baik-baik saja justru malah memecah mereka. Jika tau akan seperti ini, harusnya ia gak pergi.

Ia merogoh handphone di slingbagnya dan menekan beberapa nomor lalu menunggu telpon tersambung.

"Selidiki, orang yang sudah merusak adik saya." Perintahnya dan menutupnya sepihak.

Beberapa orang berangsur pergi, menyisakan orang-orang terdekat yang tentunya sudah memahami Adara, Adira, maupun Adila luar dalam. Mereka yang sadar diri jelas mundur teratur, memberi ruang untuk mereka membahas privasi keluarga.

"Dira, gue gak tau pilihan untuk meninggalkan kalian bakalan jadi bumerang perpecahan antar kita bertiga. Gue harusnya gak pergi waktu itu, biar gue egois asal kita gak kayak gini."

Adira terkekeh, "Iya, gue cukup kecewa dengan kepergian lo yang tanpa pamit ninggalin kita gitu aja. Gue kira lo dewasa, tapi lo cukup pengecut sampe ninggalin masalah tanpa diselesain dulu." Sinisnya.

"Tapi gue juga sadar, kalo gue juga egois karna gak setegar lo buat ngadepin Adila meskipun pada akhirnya lo nyerah."

Adara menoleh kearah Adira yang jelas air matanya sudah deras turun tapi masih lancar berbicara. Ia bisa tau seberapa sesaknya menahan tangis dan menahan luapan emosi itu.

"Gue juga iri sama Adila, meskipun dia alasan lo pergi, tapi dia juga yang jadi alasan lo balik lagi. Sampe rasanya gue kesel, kenapa lo gak buat gue aja yang jadi alasan lo bertahan." Ia mulai terisak.

Hiks..

Adara berdiri dari duduknya dan memeluk Adira. Membawa adiknya yang berbeda lima menit dengannya itu kedalam pelukannya dan berbagi tangis bersama.

"Maafin gue." Lirihnya, tangis keduanya berpadu. Membuat semua yang masih ada diruangan itu ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Akar dari perpecahan mereka hanyalah satu, Adila, dan pemersatu pecahnya mereka juga karena Adila. Seharusnya mereka sama-sama menurunkan ego masing-masing dan membangun benteng kuat agar tidak ada satupun musuh mampu memecahkan mereka.

Tapi, apa, nyatanya mereka lengah. Kalah, dan hidup masing-masing hingga tidak sadar jika saling menyakiti satu sama lain.

Mereka dihancurkan dari dalam.

Tapi, setelah ini mereka pastikan tidak ada satupun orang yang bisa memecahkan mereka lagi. Apapun alasannya, karena mereka sadar tidak bisa hidup tanpa kebersamaan saudara serahim, sepermainan, senasib, sedarah dan sebatin satu sama lain.

_________

Kerasa gak sih feelnya?
Takutnya gak sampe feel yang aku buat ke kalian. 🥺

Jangan lupa tinggalkan jejak (◠‿◕)

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang