BAB 15, SANG PENYELAMAT CINTA (1)

5 2 2
                                    

                Studio 1 Golden TV, pada pukul 11:30. Rafa baru saja keluar dari ruang wardrop sehabis ganti baju, jadi kaget Ketika tangannya ditarik-tarik oleh seseorang. Dari bentukan orangnya, Rafa tau sih siapa dia.

                "Aduh-aduh Mbak Dinda, kenapa sih?" Rafa agak emosi.

"Ih, tolong lah, narsum lo tadi pada berantem tuh!" seru seseorang bernama Dinda tersebut.

"Hah berantem? Berantem gimana?"

"Ya berantem, ribut-ribut suami istri gitu..."

"Terus urusannya sama aku apa mbaaaak?" Rafa semakin emosi.

"Kayaknya Cuma elo deh yang bisa nengahin. Dah sana ah, puyeng gue mereka teriak-teriak di ruang make up..." kata gadis bernama Dinda itu seraya berlalu dari hadapan rafa. Tidak ada pilihan lain, maka cowok berusia 26 tahun itu segera pergi ke ruang make up, dan menjadi penengah di antara pertengkaran sepasang selebgram yang baru saja menikah setahun yang lalu itu. Untungnya lagi, mereka teman dekat sih, jadi pasti aman kalau Rafa tiba-tiba datang menjadi seorang pembela kebenaran *halah.

***
"Stop, stop, stop! Kenapa sih kalian ini?" tanya Rafa, sesaat setelah pintu ruang make up terbuka lebar. Sepasang selebgram suami-istri itu terdiam. Mata keduanya sama-sama merah membara, seolah ada api yang sama-sama bisa menyala dan membakar apa saja.

"Wes wes wes, duduk kalian berdua!" kata Rafa tegas. Duh kelakuannya itu lho, persis bapak guru yang lagi menjadi pelerai perkelahian siswa-siswinya di kelas. Rafa melangkah ke tengah ruangan, lalu kakinya terantuk sesuatu. Dan ternyata itu adalah sebuah stroller (kereta dorong bayi), lengkap dengan bayinya serta perlengkapannya. Sang bayi berwajah polos itu hanya tersenyum-senyum saja, tanpa tahu kalau kedua orang tuanya sedang memanas.

"Ngomongo satu-satu, jangan sampai ada yang nyelak. Bisa Panjang nih urusannya..." kata Rafa. Pertama dimulai dari sang selebgram cewek, lalu sang selebgram cowok. Kedua-duanya sama-sama memberikan cerita benar dan siapa yang salah versi mereka. Dan Ketika suasana mau memanas lagi, Rafa segera mengangkat tangannya, menyuruh mereka diam.

"Ok udah cukup. Ini sekarang maunya gimana? Kalian mau terusin ini di rumah aja nggak? Ini tempat umum lho!"

"Iya deh, Fa..." kata si cowok.

"Iya, kayanya kita pulang aja deh... Makasih Raf..." imbuh sang selebgram cewek. Lalu keduanya sama-sama berjalan keluar ruang make up, dan terus benar-benar keluar Gedung Golden TV, tanpa mereka menyadari, ada sesuatu yang tertinggal.

***
"Oweeeek, oweeeek..." Suara tangis bayi memecah kesunyian suasana siang yang cukup serius namun santai di Gedung Golden TV, mengagetkan beberapa orang yang sedang briefing untuk kegiatan shooting besok. Semua saling pandang. Bayi siapa ada disini?

"Bentar-bentar..." kata salah satu dari mereka.

"Itu suara bayi siapa sih?" tanya yang lain.

"Hah? Halu ya kalian? Mana ada bayi?" tanya Rafa.

"Ish kuping makanya dipake!" kata Dinda galak. Dinda adalah seorang eksekutif produser, dan agak galak emang dia. Pasti pada takut jadinya.

"Eh iya, kok makin kenceng ya? Bentar gue cek..." kata Rafa seraya bangkit dari kursi, lalu berusaha mencari dimana ada suara tangis bayi. Rafa terus mempertajam telinganya, dan entah kenapa, kakinya memaksa dia untuk pergi ke ruang make up.

***
"Innalillahi, eh astaghfirullah Ya ALLAH tolong..." Rafa gemetaran. Kakinya seperti tak kuat menyangga tubuhnya. Mendengar teriakan Rafa, Orang-orang yang sedang meneruskan briefing di ruangan sebelah itu jadi kaget, dan akhirnya berbondong-bondong menuju tempat yang sama.

"Rafa, kenapa Raf? Kenapa?" tanya mereka tak sabar.

"B-Bayi... Bayi... Bayi siapa ini?" tanyanya, masih dalam mode shock.

"B-Bayi ini, kan, anaknya Nadine sama si Clarence? Kenapa ada disini?" tanya Dinda kaget. Ya, dia ingat, tadi dia memang mengundang sepasang selebgram beserta bayinya itu ke acara Cerita-Cerita Artist yang dipandu oleh Rafa. Terus kenapa sekarang bayinya masih ada disini dan tanpa orang tuanya?

"Kok bodoh banget sih artist-artist itu? Bisa-bisanya bayinya ditinggal disini?" kata Dinda. Tapi Rafa tidak berpikir demikian. Memang awalnya dia shock, banget malah. Tapi kayaknya boleh juga dia kasih pelajaran sama kedua orang tua baru itu, biar lebih hati-hati lagi. Karena menurut dia, Ketika sudah menikah, seseorang mustinya sudah jadi lebih dewasa.

***
Kirana kaget. Tidak ada angin tidak ada ujan, adiknya datang. Masalahnya bukan apa-apa, tapi dia datang udah dalam keadaan bawa bayi yang ditaruh di atas stroller.

"Raf... Ka-Kamu... Kamu..." Kirana berdiri pada posisinya, sempurna tertegun, dengan mata yang siap menangis kapan saja.

"Apa mbak?" tanya Rafa santai.

"Anak siapa ini?" tanya Kirana balik, nyaris berbisik.

"Duduk dulu... Aku mau cerita..." kata Rafa. Ia mengajak kakaknya duduk di sofa yang tersedia, meninggalkan stroller berisi bayi yang sedang tertidur setelah kekenyangan minum susu.

"Kenapa, Raf? Siapa ibunya?" tanya Kirana lagi akhirnya.

"Ibunya itu temenku mbak..." kata Rafa. Kirana menutup wajahnya. Ia tahu, selain menjadi penyiar radio, adiknya ini juga host acara TV, dan sering bertemu dengan rekan artist, baik cowok ataupun cewek. Apa kah mungkin temen ceweknya ini...

"Mbak, jangan nangis dulu talah. Aku belom selesai cerita..." kata Rafa. Kali ini ia mulai agak serius. Ia merasa tak siap (dan tak pernah sanggup), bila harus menyaksikan kakaknya menangis seperti ini.

"Iya emang ibu dari anak bayi ini adalah teman perempuanku, tapi bapaknya bukan aku, bapaknya temanku juga, suaminya gitu, jadi temenku itu suami istri..."

"Mak-Maksud kamu?" tanya Kirana. Akhirnya Rafa menceritakan semua yang terjadi hari ini. Dari awal sampai akhir kejadian, lengkap, tanpa ada yang dikurangi dan dilebihkan.

"Jadi sekarang bayi ini ada sama aku, karena ketinggalan di studio, ibu-bapaknya nggak sadar kalau mereka bawa bayi dan terus ketinggalan, karena sibuk berantem. Nah terus daripada ni bayi kenapa-napa, aku bawalah dia kesini, kan mbak yang ngerti ngurus bayi. Aku mau punya bayi gimana sih mbak? Istri aja lho aku nggak punya..." Rafa menutup ceritanya. Kirana melompat dari kursi, memeluk adiknya erat-erat, menangis hebat disana. Ia sempat juga menghadiahkan beberapa cubitan, pukulan, bahkan jeweran kepada adik lelakinya itu.

"Aduh-aduh, kok jadi KDRT gini sih mbak?" protes Rafa seraya menghindari tangan-tangan kakaknya yang terus memutar telinganya.

"Kamu lho edian, poso-poso malah marai mbake jantungan... Koplak tau nggak!" kata Kirana tak peduli, seraya tetap menjeweri telinga adiknya itu.

"La mulo tho mbak, ditakoni disek, ojo langsung menyimpulkan ngunu lho, kan ngene akibate... Tapi mang emang niatku rodok iseng sih, twitik tapi..." kata Rafa jujur.

"Wong ancene kowe iku... Ah, yo wes mbuh karepmu lah dek... La terus piye ki saiki?" kata Kirana pasrah seraya melepaskan jewerannya dari telinga Rafa yang sudah merah dan matang sempurna.

"Nanti lah, sementara aku mau disini aja, mungkin sampai sore, atau sampai kedua orang tua sempel itu sadar kalau bayine kari... Konyol kok wong loro iku..." kata Rafa.

"Yo wes, tak siapno kamar ae nek ngunu, asem-asem, siang-siang dibikin jantungan sama adik koplak begini... Hadeeeh..." kata Kirana akhirnya, seraya bangkit dari kursi, menuju kamar tamu, dan membersihkannya agar si bayi itu bisa nyaman Ketika berada di dalam nanti.

(TBC)

SALAH JATUH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang