BAB 23, BULLY

6 2 2
                                    

                [Sok keren banget ya si Nayyara, sok nolak kompetisi bergengsi yang sudah ditawarkan sama dia. Sudah sehebat apa sih dia ini? Suaranya juga perasaan biasa-biasa aja ah!]

[Namanya juga orang nggak tau diri, ya kayak gitu deh jadinya.]

[Kok dia betah ya punya sepupu penghancur impian kayak gitu? Gue sih mending gue bunuh aja tu orang kayak sepupunya]

"NGGAK!" Nayyara terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah, wajahnya memerah dan banjir air mata. Apa yang terjadi sebenarnya ini? Suara-suara apa yang ada di kepalanya?

"Jangan jahatin Kak Kirana... Kak Kirana nggak gitu... Kak Kirana itu baik... Jangan sakiti Kak Kirana..."

"Nayya, kamu kenapa Nay? Nay..." Andin terkejut. Ia langsung bangun dan terduduk begitu melihat adiknya yang dalam keadaan kacau seperti itu.

"Kak Rana... Jangan..." racau Nayyara lagi. Tangannya menggapai-gapai, membuat Andin refleks mendekatinya.

"Nay... Astaghfirullah!" Andin semakin terkejut. Matanya membulat sempurna. Ini Nayyara kenapa?

"Te-Te-Tenang, Ndin, tenang. Kamu nggak boleh panik okay?" kata Andin kepada dirinya sendiri. Ia tidak sempat berpesan apa-apa kepada adiknya, ia hanya merasa harus; harus dan harus menemui seseorang, memaksanya untuk ikut bersamanya.

***
"Kak Rana, Kak Bian, buka pintunya!" seru Andin panik seraya menggedor-gedor pintu kamar kakak sepupunya itu. Kirana secepat kilat bangun dari tempat tidur, Bersama suaminya yang tiba-tiba sudah merasa sesak dan sakit dadanya karena terkejut.

"R-Ran..."

"Sebentar Bi, sebentar. Kamu tenang. Biar aku yang nemuin Andin... Tarik napas, terus tenang ya..." kata Kirana tergesa seraya berjalan dan membuka pintu kamarnya.

"Andin, kenapa Ndin? Ada apa?" tanya Kirana.

"Kak, ke atas sebentar kak... Nayya..."

"Kenapa Nayya?" Kirana bingung. Andin tidak menjawab, ia hanya menarik paksa tangan kakak sepupunya, membawanya mmenuju tangga dan terus ke kamarnya.

***
Andin membuka pintu, dan melihat bahwa adiknya sudah Kembali tertidur, tapi sambil menangis. Kirana mendekat, dan memegang tubuh Nayyara.

"Astaghfirullah demam ini anak!" serunya.

"I-Iya kak, makanya aku panggil kakak tadi..."

"Kenapa bisa begini?" tanya Kirana.

"Kak Ranaa..." suara Nayyara terdengar lagi, lirih dan menyedihkan. Kirana mendekat, menepuk-nepuk pipi adik sepupunya itu agar cepat sadar.

"Dek sayang, kamu kenapa?" tanya Kirana seraya pelan-pelan memeluk adik sepupunya itu.

"Kak, mending periksa aja HP-nya..." usul Andin, seraya melirik HP Nayyara yang masih ada di atas meja. HP itu juga berada dalam posisi menyala dan terbuka. Kirana mengangguk, maka langsung saja ia mengambil HP itu dan memerikssanya. Sekilas tidak ada apa-apa, tapi ia merasa ada sesuatu yang janggal dari beberapa chat di WhatsApp yang coba diarsibkan sehingga tersembunyi. Kirana membuka arsib-arsib chat itu, dan membaca dari atas sampai bawah. Lalu Kirana mengepalkan tangannya tiba-tiba, merasa ada yang berusaha menjebol dadanya dengan amarah yang luar biasa.

"Nayyara kena bully!" serunya.

"Ap-Apa?" Andin kaget. Kirana mengangguk. Ia menyodorkan HP Nayyara, meminta Andin membaca satu-persatu chat yang ada di sana.

"Ini nggak bisa dibiarin..." katanya marah.

"Biarin aja dulu, dek. Fokus ke Nayyara aja. Siapin kompresan, aku jaga disini." Instruksi Kirana. Andin mengangguk, dan segera turun ke bawah untuk mempersiapkan yang diminta Kirana. Di bawah, ia bertemu Bian yang kebingungan mencari istrinya.

"Kakakmu dimana Ndin? Tadi kabur gitu aja eh..."

"Di kamarku kak, Nayyara demam, sekarang aku mau siapin kain kompres..." kata Andin.

"Innalillahi oke, aku ikut kalau gitu... Tiba-tiba tah?"

"Iya, tiba-tiba. Tapi dari beberapa hari yang lalu emang mimpi buruk terus nih anak, sama yah, sering ngelamun..."

"Apa ada masalah?" tanya Bian lagi.

"Kena bully kak, di sosmed, di WhatsApp, sama teman-temannya sesama murid di Harmony Music School..." jelas Andin. Bian mencengkeram dadanya kuat-kuat. Rasanya ia seperti harus Kembali pada masa bertahun-tahun silam ; masa remajanya, yang juga sangat akrab dengan satu kata dan satu hal itu : "bully". Tanpa menunggu Andin yang masih sibuk menjerang air untuk kompres, Bian segera pergi ke atas, ke kamar adik-adik sepupunya, menyusul Kirana.

***
Sepasang suami istri itu memandang wajah imut yang Kembali tertidur dengan tenang usai demamnya turun. Deru napasnya Kembali teratur, dan ia juga sudah tidak lagi bergerak-gerak dalam Gerakan yang mengkhawatirkan. Semuanya bersyukur untuk itu.

"Makasih banyak ya kak..." Andin memecah kesunyian.

"Makasih kenapa?" tanya Kirana.

"Untung ada kakak, kalau nggak aku nggak tau harus bagaimana ini tadi..."

"Udah gak usah makasih sayang, kita kan keluarga. Oh iya, udah jam setengah tiga nih. Siap-siap sahur yuk... Nayya nggak usah dibangunin, fix sakit dia ini. Kamu bangunin anak-anak aja ya, Bi." Kata Kirana sekaligus memberi instruksi kepada suaminya.

"Siap, komandan!" kata Bian dan Andin serentak, seraya tertawa-tawa menggoda Kirana. Kirana memajukan bibir, cemberut. Tapi pada akhirnya ia tertawa juga sih.

***
"Bi, aku kok kepikiran ya?" tanya Kirana seraya menatap nyalang langit-langit kamar.

"Kepikiran apa?" tanya Bian.

"Di zaman kapanpun, di tahun berapapun, kenapa fenomena perundungan ini nggak ada beres-beresnya ya?"

"Sebenernya bakalan beres kalau manusianya sendiri nggak buat ulah... Maksudku, ngebully itu biasanya massif kan, atau keroyokan, mana pernah kita tau seorang perundung itu tunggal putra atau tunggal putri..."

"Angite bulu tangkis tah?" Kirana yang gemas melemparkan bantal guling ke punggung Bian.

"Haha bukan, tapi kamu sadar nggak kalau pembully atau perundung itu biasanya ngelakuinnya rame-rame?" tanya Bian.

"Ya iya sih. Kenapa ya?" Kirana mengangguk setuju.

"Itu karena mereka takut dilawan... Artinya kalau sama-sama sendiri kan, si yang dibully dan pembully ini peluangnya sama-sama besar, si korban punya kans untuk ngelawan gitu. Tapi yang sering terjadi adalah si pembulinya rame-rame, yang dibullynya sendiri, maka pasti nggak bisa ngelawannya..." jelas Bian.

"Lah kui seng repot..." kata Kirana.

"Ya makanya, kayaknya susah deh ngeberesin kasus dan kebiasaan mendarah daging begini. Apa lagi kan orang itu punya hobi nge-judge, dari statement berakhir kepada bully. Tapi yang paling penting sih kita cukup jadi korban dan pengamat aja sayang, jangan sampai deh kita jadi pelaku..." kata Bian.

"Ya iyalah, idih, amit-amit deh..." timpal Kirana.

"Ya udah sayang, tidur lagi aja yuk, mumpung weekend nih. Kamu nggak perlu nyiapin Gavin sekolah kan..." ajak Bian seraya menaikkan selimutnya.

"Tidur only ya, Bi. Udah puasa nih soalnya..." kata Kirana.

"Iya-iyaaa!" Bian cemberut. Tapi tetep pelukan mereka. Dasar!

(TBC).

SALAH JATUH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang