Chapter 07: Ala Film Remaja Amerika
Lala bengong, menatap Inara yang sudah merengek di depannya. Ada Rebecca juga yang ikut nimbrung.
Lala dan Inara pulang dari rumah Randi setelah rapat kelas, lalu mampir ke coffee shop dan Rebecca datang menyusul. Sebenarnya sih, Inara juga dekat dengan Rebecca. Hanya saja Inara anaknya lebih peyendiri dan nggak ketebak, suka tiba-tiba ngilang atau tiba-tiba diem nggak ngomong apapun. Jadi nggak keliatan kalau dia sebenarnya trio bareng Lala juga Rebecca.
"Gimana dong La?" tanya Rebecca menenangkan Inara yang sudah misuh-misuh. "Besok banget tuh janjiannya."
"Kok gue nggak tau apa-apa sih?" tanya Lala memerotes.
Inara mencibir, "ya lo kan biasanya cuek urusan gini," katanya membela diri. "Gimana dong??? Ini pertama kali gue ketemuan!"
Lala menepuk kening sendiri, menaruh siku di atas meja coffee shop tak habis pikir. Mau protes karena nggak pernah diceritain, tapi kayaknya udah terlalu jauh dan terlambat.
Selama pandemik kemarin, Inara dekat dengan cowok virtual. Kenalannya lewat games. Mereka udah chat selama ini dan dekat. Lalu besok akhirnya ketemuan. Inara mengajak Rebecca, karena Rebecca juga tipe teman posesif yang nggak mau temennya sendirian ketemu orang asing.
Tapi masalahnya, Ace yang diharapkan menemani mendadak harus ke Cengkareng karena pamannya sakit. Tadi saja Ace juga langsung pulang cepat dan baru balik di Minggu malam.
"Yaudah Bek lu aja lanjut," kata Lala memberi saran.
"Ih gue jadi apa anying?" tanya Rebecca bersungut, "apa kita berdua aja? Jadi betiga nih jalannya."
"Yah kasian dia entar dikeroyok," kata Lala pengertian.
Inara mendecak, "sebenarnya pas gue bilang bakal bawa temen dia nanya boleh bawa temen cowoknya juga nggak."
"Nah!" Lala langsung menjetikkan jari menegakkan tubuh antusias, "ayo Bek maju, saatnya lo buang tuh Ace Branden!" katanya yang sudah salah nyebut nama.
Rebecca mengumpat, mengacungkan kepalan tangan kecil mengancam pada Lala yang malah tertawa keras tanpa dosa. "Makanya Alamea, lo aja yang nemenin," kata Rebecca kembali ke pembicaraan awal.
Raut wajah Lala berubah. Ia mendecak, "gue lagi nggak ada duit," jawabnya jujur. Udah lama nggak ikut ayah ngirim barang, Lala nggak dapat uang tambahan. Duit jajannya pas-pasan buat di sekolah doang.
"Dibayarin sama Ina!" kata Rebecca menunjuk Inara yang jadi tersedak saat baru saja minum es kopinya.
"Yaudah deh," kata Inara setengah rela.
"Yang ikhlas dong!" sahut Lala mengompori, "mau nggak nih?"
Inara mencibir saja, akhirnya menganggukkan kepala. Gadis itu lalu mengangkat hape putihnya membuka aplikasi. "Coba gue chat ya..." katanya sambil menggerakkan jempol di layar mengetikkan pesan.
"Napa nggak lu aja sih Bek? Tuh, nggak jadi orang ketiga lu," kata Lala membujuk. Yang jelas, Rebecca jauh lebih bisa mengendalikan diri di depan orang asing. Dia lebih percaya diri dan jarang terjebak di situasi canggung. Rebecca adalah tipe temen yang dibutuhin di situasi pertemuan pertama begini.
Rebecca mendecak, "jadinya kayak double date, pasang-pasang gitu."
"Ih nggak papa kali," kata Lala masih tanpa dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and The Clown
Teen FictionHari ini adalah hari penting pertemuan kembali para manusia-manusia Peridana setelah setahun berpisah karena pandemik. Kadang Lala kaget. Perasaan baru kemaren Lala sibuk ngurusin berkas masuk SMA, kok sekarang udah mau kelas 12. Kelas 11 beneran n...