Halo
Lanjut, yuk?
Semoga makin ramai ya. Biar makin seru gitu saya balasin komentarnya. Hehe.OooO
Hari itu Anyelir merayakan ulang tahunnya yang ke sebelas. Wajahnya agak pucat karena baru dua hari yang lalu dia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit yang terasa pengap. Gadis kecil itu terduduk lemah di atas kursi roda. Matanya berkeliling, menatap banyak anak yang seumuran dengannya berlarian dengan semangat, tertawa tanpa beban, bermain tanpa lelah. Senyum lebar muncul di bibir gadis itu. Pada sang ibu, dia juga mengatakan bahwa dia bahagia, dia merasa sehat berada di sini. Sayangnya, itu tak cukup untuk membuat Argantara terkecoh. Dia tahu kebahagian tanpa alasan para penghuni panti ini berhasil membuat adiknya diam-diam merasakan iri.
"Gimana kalau kita main game? Mas habis download game baru," tawar Argantara untuk memecah perhatian Anyelir.
"Gimana kalau petak umpet?" balas Anyelir dengan kerlingan jahil.
Argantara tercekat. "Boleh kok. Setelah kemomu selesai, kita pasti bisa main petak umpet lagi. Makanya, semangat dong!"
"Aku semangat kok, Mas. Aku mau sehat kayak anak-anak itu lagi."
Mendengarnya batin Argantara sakit luar biasa. Kalau tidak ingat bahwa dia laki-laki yang sudah berumur empat belas tahun, Argantara pasti tak akan segan menangis. Dia benar-benar ingin marah ketika setiap hari dia harus melihat adik kecilnya kesakitan. Dia sangat ingin meraung ketika kian lama semangat sembuh gadis itu kian redup. Anyelir sungguh tidak pantas menanggung beban seberat ini. Badannya terlalu ringkih, hatinya terlalu lembut. Tidakkah Tuhan tahu itu?
"Mas Aga."
"Ya."
"Lihat adik kecil itu, Mas."
Meskipun sudah berjanji pada sang ibu untuk tidak menangis di hadapan Anyelir, nyatanya Argantara kadang-kadang tak bisa menahan titik air mata merembes dari kelopak matanya. Seperti kali itu. Ketika dia mengikuti semua hal yang Anyelir pandang, tak terasa matanya telah berselimut kaca. Memandang jadi terasa kabur.
"Yang mana?" tanya Argantara yang belum mengerti mau adiknya.
"Itu di teras. Yang pakai dress kuning."
Dengan mengikuti arah telunjuk Anyelir, akhirnya Argantara temukan seseorang yang sukses menarik perhatian adiknya secara khusus. Di teras sana seorang gadis kecil yang sepertinya jauh lebih muda dari Anyelir berada. Dia berdiri ragu sambil memilin keliman gaun kuningnya yang terlihat kusam. Matanya jatuh ke halaman luas yang kini ditempati banyak kursi dan teman-temannya. Kaki pendek berbalut sepasang sepatu balet itu melangkah dan ditarik dalam detik yang berurutan. Agaknya dia segan untuk turun bergabung.
"Cantik ya, Mas?"
Untuk ukuran anak kecil dan seseorang yang besar di panti asuhan, gadis kecil itu memang pantas disebut cantik. Dia punya pipi yang bulat, bibirnya mungil menggemaskan. Ketika kulitnya berwarna putih cerah, rambutnya malah menghitam gelam. Semua tampak tepat dan sempurna untuk gadis kecil itu.
"Cantik kan, Mas?" ulang Anyelir lagi.
"Iya, cantik."
"Tapi dari semua hal aku paling suka rambutnya. Tebal. Ngembang kayak model iklan shampo," lanjut Anyelir lalu terkikik.
Hal yang terasa lucu untuk Anyelir itu ternyata membawa makna berbeda untuk Argantara. Remaja tampan itu memilih menipiskan bibir, tak menanggapi lebih banyak. Dalam benak, ia hanya berharap bahwa Anyelir segera menemukan fokus lain. Sebab Argantara tahu, adiknya itu benar-benar menyukai rambut gadis kecil itu dalam artian iri. Semua rambut Anyelir sudah rontok, gadis mana yang tidak akan merasa dengki menatap rambut cantik berkilau semacam itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lempar Dendam Sembunyi Cinta (Tamat)
General FictionAda satu kesempatan yang membuat keduanya bertemu. Satu membekas, yang lainnya hilang tersapu masa. Bertahun kemudian takdir membawa mereka untuk jadi sedekat jari dan kuku. Sayangnya, yang satu ingin memiliki yang lainnya ingin membalaskan dendam. ...