1. Bando Kuning

19.3K 1.9K 83
                                    

"Sudah mau berangkat?"

Ayumi mengangguk, merapikan ikatan rambutnya yang terlihat klimis pagi ini. Pada wajah lembut di di layar ponsel sana, gadis cantik itu tersenyum manis. "Udah jam tujuh nih, Bu. Doain wawancaraku lancar, ya."

"Sayangnya Ibu punya doa sebaliknya, sih, Yu."

"Ibu nggak boleh gitu. Aku mau belajar mandiri loh ini, didoain dong."

"Belajar mandiri kan nggak harus di tempat yang jauh begitu. Di sini juga bisa. Kalau kamu mau totalitas, Ibu lepasin catering Ibu buat kamu. Gimana? Tertarik?"

Lantang saja Ayumi menggeleng yang sejurus kemudian membuat bibir ibunya mencebik. Tahu bahwa bujuk rayu semacam apapun tak bisa membuat putrinya luluh dan mengalah, pada akhirnya Lani menyerah dengan mudah. Dia berkata hendak pergi ke pasar untuk memberi daging dan para teman-temannya yang Ayumi balas dengan pesan untuk terus berhati-hati—terutama ketika menyimpan dompet atau ponsel. Pasar di kota tinggal Ayumi itu sungguh rawan akan jambret dan sudah dua kali Lani mengalami tragedi menyebalkan semacam itu.

Setelah sambungan dengan Lani benar-benar terputus, Ayumi kembali meneruskan seluruh persiapannya untuk hari besar ini. Dimulai dari penampilannya sendiri. Dia pastikan bahwa rok pensil berwarna hitam di bawah lutut berpadu dengan kemeja satin putih ini cocok di tubuhnya. Untuk area wajah, Ayumi menambah make-up terbaik yang dia mampu. Ada rona oranye samar di pipi, juga garis mata tegas dengan bantuan eyeliner. Dalam memulas bibir, Ayumi menjatuhkan pilihan pada warna peach yang tak terlalu pekat. Gadis itu rasa, ini membuat segalanya jadi netral. Dia masih terlihat segar dan jauh dari kesan mencari perhatian.

Sebagai penyempurna, Ayumi mengenakan satu bando berbahan besi dengan tambahan tiga mutiara yang berjajar cantik. Rambut gadis itu adalah tipikal rambut tebal yang mengembang. Tanpa bantuan bando seperti ini, kadang membuatnya merasa lebih mirip singa dibanding manusia normal.

Waktu terus berjalan cepat. Detik jam dinding di atas sana berdentang nyaring seirama dengan debaran jantungnya yang kian menggila. Ini jelas bukan wawancara kerja biasa. Lebih dari itu, ini adalah awal segala misi balas dendam untuk kematian Alina—seseorang yang dia sebut sebagai kakak.

OooO

Tuhan sudah memutuskan bahwa Ayumi harus hidup jadi sebatang kara. Dunia menjalankan perintah, lalu dengan segala lika-likunya berhasil mengirim bayi berusia sekitar satu tahun itu ke halaman sebuah panti asuhan. Malam itu hujan awal tahun baru saja reda. Sudah pukul sepuluh malam saat lengking tangis bayi mengusik tidur Martha—pembina sekaligus pemilik panti itu. Wanita di awal tiga puluhan itu yakin sekali bahwa tidak ada bayi dalam daftar anak asuhnya. Jadi gegas saja ia menyelimuti tubuhnya dengan kain tebal, lantas pergi keluar untuk menilik keadaan. Dan benar saja! Ada sebuah kardus yang tergeletak di depan pintu kediamannya. Isinya adalah bayi cantik yang memerah kedingingan.

"Hei, Ayumi. Kenapa belum mandi?"

Itu adalah suara teriakan dari Martha. Dibanding dengan karakter ibu panti penuh kasih sayang selayaknya yang digambarkan dalam sinetron, ibu panti asuhan yang Ayumi tinggali sungguh lebih mirip dengan penyihit jahat. Wanita gendut itu hanya baik di depan semua donatur, selebihnya dia adalah wanita kasar yang tak segan mencubit atau menampar bokong anak asuhnya yang rewel dan bandel. Untuk Ayumi sendiri, dia belum pernah merasakan tangan panas wanita itu. Hanya saja, dia sudah kenyang soal teriakannya. Berdiam di ranjang begini pun, dia terlihat salah di mata Martha.

"Kenapa diam saja? Nggak punya mulut, hah?"

"Baju saya sedang dicuci, Bu. Saya tidak ikut acara." Pada akhirnya, Ayumi harus membuka mulut juga.

Lempar Dendam Sembunyi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang