Tidak semua orang punya muka tembok semacam Novita. Jangankan mengundurkan diri karena merasa malu atau sedikit tak enak hati, yang ada wanita itu terus saja memasang wajah angkuh tiap kali bertemu dengan Ayumi. Bahkan sesaat setelah insiden keracunan itu menggemparkan seisi kantor, Novita adalah orang pertama yang merasa paling suci untuk menilai topeng yang Ayumi gunakan. Orang pertama juga yang akan berbicara lantang dan tepat menusuk ke telinganya.
"Apa aku bilang. Dia busuk!" hardik Novita ketika sengaja terjebak bersama Ayumi di dalam lift.
Tudingan itu langsung disetujui oleh beberapa orang lagi dalam bilik besi yang sedang berjalan turun itu. Kasak-kusuk dengan nada yang jauh dari kata berbisik, membuat Ayumi mencengkeram satu kardus berisi barang-barang pribadinya. Terbiasa dengan tuduhan-tuduhan menyakitkan, Ayumi mengaktifkan mode tuli dan buta. Dia tidak melihat segerombolan wanita picik di belakang sana. Ia juga tidak mendengar gonggongan anjing lapar di balik punggungnya.
Lift sampai di lantai terdasar. Ayumi bergegas keluar, namun tahu-tahu saja dia sudah terjerembab. Dia merasa mendapatkan dorongan, tapi dia tak terlalu yakin karena memang lebih banyak melamun dibandingkan sadar. Semua bawaannya berceceran, berpasang-pasang mata lantas tertawa padahal dada Ayumi terasa sesak karena baru saja membentur lantai. Menghela napas, Ayumi menoleh ke belakang, balas menatap tajam seorang Novita yang sepertinya memiliki dendam kesumat dengannya.
Wanita berambut sedikit kemerahan itu tersenyum sinis. "Apa? Kenapa natap aku begitu? Marah? Lalu apa? Ngadu sama Pak Arga? Ck. Kayak Pak Arga mau maafin kamu aja, Yu. Bangun gih. Mimpi indahmu sudah berakhir."
Menyebalkannya, ucapan Novita seolah jadi kenyataan. Mimpi indah itu sungguh telah usai. Hidup Ayumi jadi tersisa pedih. Kembali ke dekapan ibunya, tak membuat segalanya menjadi benar. Ada bagian hatinya yang sudah remuk karena ulahnya sendiri. Ada bagian dari semangatnya yang menguap sebagai akibat dari kebodohannya. Yang Ayumi lakukan sekarang cuma bertahan. Dia yakin akan menemukan alasan lain untuk menyembuhkan hatinya dan membangun ulang semangat itu, meski entah kapan.
Tapi sungguh, bertemu lagi dengan Argantara dalam keadaan laki-laki itu masih sehangat dulu tidak pernah menjadi bagian dari harapan Ayumi. Akan lebih masuk akal jika Argantara datang untuk menuntut balas, menyebut dia sebagai penipu, atau bahkan membawa pengacara untuk mengganjar semua perbuatan Ayumi. Sungguh, mengakui bahwa perasaannya tak berubah, membuat Ayumi benar-benar kehilangan muka, kehilangan keberanian. Dia sudah jahat sekali, mana bisa Ayumi membiarkan Argantara yang baik hati berada dekat dengannya?
"Loh, Yu. Kok sendiri?" Lani celingukan.
"Maksud Ibu?" tanya Ayumi tak paham.
"Nak Arga-nya mana? Kok nggak barengan? Tadi dia nyusul kamu. Ketemu, kan?"
Tidak terlalu aneh jika hanya bertemu Argantara di depan rumahnya, yang mana alamat rumah ini memang terdaftar dalam CV yang pernah ia lampirkan. Namun akan sangat aneh jika mendengar ibunya memanggil Argantara dengan panggilan sekarab itu. Mereka baru saja bertemu. Argantara masih bisa disebut orang asing, lalu mana bisa ibu memberikan lokasi pastinya kepada seseorang yang sama sekali belum pernah dia kenal?
Tak pelak, Ayumi menaruh curiga. Dia kenal sekali bagaimana hati-hatinya sang ibu terhadap laki-laki setelah pengalaman buruk yang pernah dia cecap. Itu membuatnya jadi cukup selektif dan lumayan protektif. Pada Reza saja, ibu mengambil banyak waktu untuk meyakinkan diri bahwa laki-laki itu tak akan melukai putrinya. Lalu, kenapa bisa ibu jadi semudah ini pada Argantara?
Ayumi membasahi bibir dan menatap ibunya penuh selidik. "Ibu kenal Pak Arga?"
"Kenal. Dia bosmu yang rangkap jadi pacarmu," katanya sambil tersenyum miring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lempar Dendam Sembunyi Cinta (Tamat)
Ficção GeralAda satu kesempatan yang membuat keduanya bertemu. Satu membekas, yang lainnya hilang tersapu masa. Bertahun kemudian takdir membawa mereka untuk jadi sedekat jari dan kuku. Sayangnya, yang satu ingin memiliki yang lainnya ingin membalaskan dendam. ...