Masalahnya, Argantara itu sungguh bebal. Dia tak suka akan penolakan dan selalu semaunya sendiri. Berkali-kali Ayumi menegaskan bahwa mereka sudah putus, tapi Argantara tetap tak mau mengerti. Dia selalu menjemput tiap pagi, memanggil Ayumi dengan sayang, dan bersikap selembut biasanya seolah tak pernah mendengar apapun. Laki-laki itu merugi besar, karena menjatuhkan harga dirinya demi rubah burmuka tembok macam Ayumi.
Ayumi sampai jengah lantas membiarkan Argantara bersikap sesukanya. Yang bisa Ayumi lakukan sekarang adalah kembali ke profesionalitasnya saja sebagai sekretaris. Itu termasuk berbicara formal dan enggan diajak bermesraan. Seringnya, Argantara menggerutu karena itu. Sayangnya itu tak berlangsung lama, karena Argantara lebih suka bersikap seolah Ayumi hanya sedikit menyebalkan.
Padahal Ayumi sangat-sangat menunggu momen di mana Argantara resmi menyudahi hubungan ini. Ayumi ingin Argantara marah dan menghardiknya dengan masar.
"Ay, ke ruanganku sebentar, Ay."
Tanpa bantahan, Ayumi menyanggupi. Kontrak kerjanya tiga bulan lagi, ia terpikir untuk segera kabur, tapi terganjal penalty yang akan menjeratnya. Jadi, biarlah Ayumi selesaikan ini dengan hati-hati saja.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Terang saja Argantara memutar mata. "Lebih dekat! Sini. Di sampingku."
Ayumi patuh. Menuruti perintah Argantara nyaris tanpa nyawa. Tiba di samping laki-laki itu, Ayumi langsung disuguhi selengkung senyum lebar. Ayumi terheran-heran, sampai kemudian Argantara mengeluarkan sesuatu dari balik tangannya.
Kotak beludru. Mata Ayumi melebar. Argantara tidak bermaksud melamarnya kan?
"Aku punya hadiah buat kamu."
Oke. Itu bukan lamaran. Itu hanya hadiah.
Argantara masih tersenyum, ketika kotak beludru itu dibukanya lebar. Bukan cincin. Di dalam sana, sebuah kalung dengan liontin bulan sabit sedang tertidur nyaman. Sedetik, Ayumi merasa tersihir dengan betapa cantik kalung pilihan Argantara.
"Kemarin aku antarin Mama beli perhiasan. Aku lihat kalung ini dan jadi ingat kamu," jelas laki-laki itu sambil menarik rantai emas nan berkilauan hingga menjuntai panjang. Mata Ayumi jadi mengerjab-erjab. Teringat, hanya ibunya yang pernah membelikan dia hal-hal seberharga ini. "Aku bantu pasang, ya."
Segera Ayumi tersadar. Dia menggeleng dan langsung mundur selangkah. "Saya tidak bisa terima."
"Ay."
"Kita sudah tidak ada hubungan apapun. Kapan Bapak mau mengerti?"
Sekali lagi, Ayumi sukses membuat Argantara tercenung. Meski merasakan sengatan aneh, namun Ayumi tetap teguh pendirian. Dia bermaksud keluar dari ruangan berikut tatapan terluka seorang Argantara. Hanya saja, seseorang kembali menghadangnya. Argantara menggapai tangan Ayumi dan menyelipkan rantai emas itu ke dalam genggamannya.
"Sudah telanjur kubeli. Sekarang terserah kamu, mau dibuang atau disimpan."
Roda pastilah berputar. Keadaan mudah berbalik. Sekarang Ayumi yang terpaku dan tak bisa mengatakan apapun. Ketika Argantara melepaskan tangannya dan membanting pintu tepat di depan muka. Diam-diam Ayumi memejamkan mata merasai nyeri di dadanya.
Susah payah, Ayumi menghela napas dan berjalan lemas meninggalkan ruangan Argantara itu. Di mejanya, Ayumi terhempas lemah sambil memejamkan mata, mengobati luka menganga dengan keyakinan sendiri. Entah berapa lama, sampai Ayumi merasa sedikit membaik. Dia mulai mengerjakan tugasnya hingga dering ponsel mulai mengganggu. Nama pemanggilnya membuat perasaan Ayumi jungkir balik lagi.
"Apa?" Ayumi menyahut sinis. Seseorang di ujung sana tertawa lalu berusaha mengatakan sesuatu. Sambil memijit pangkal hidung, Ayumi menyahut pendek. "Oke. Kirim saja alamatnya. Setelah jam kantor, kita ketemu di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lempar Dendam Sembunyi Cinta (Tamat)
Fiksi UmumAda satu kesempatan yang membuat keduanya bertemu. Satu membekas, yang lainnya hilang tersapu masa. Bertahun kemudian takdir membawa mereka untuk jadi sedekat jari dan kuku. Sayangnya, yang satu ingin memiliki yang lainnya ingin membalaskan dendam. ...