16. Percaya Tanpa Batas

6.1K 1.1K 64
                                    

Kening Argantara langsung mengerut heran ketika kasir dari restoran ini mengangsurkan kembali kartu miliknya. "Ada kartu lain mungkin, Pak?" tanya gadis itu hati-hati.

"Ada. Tentu saja ada," sahut Argantara tenang sambil mengeluarkan satu kartunya yang lain.

Gadis kasir tadi mengerjakan bagiannya. Untuk orang seperti dia, harusnya itu bukanlah pekerjaan yang sulit. Digesekkan kartu milik Argantara dengan tanpa usaha berarti. Gerakan jarinya lincah saja, matanya terarah, menunjukkan betapa dia sudah berpengalaman. Dimintanya Argantara memasukkan pin. Argantara terus melakukannya dan berharap ini akan segera selesai.

Dua detik berikutnya, wanita itu mengulum senyum sungkan lagi. "Pin anda salah, Pak."

Makin dalam saja kerutan di dahi Argantara. Laki-laki itu berdiri di antara rasa gemas dan heran. Di dalam dompetnya ia memiliki delapan kartu. Semuanya saja ia keluarkan. Semuanya saja ia coba. Dan semuanya saja berakhir dengan pemberitahuan pin salah.

Ini benar-benar aneh. Argantara membuat pin yang sama untuk delapan kartunya dengan kombinasi angka ulang tahunnya, angka ulang tahun anyelir, juga angka ulang tahun ibunya. Enam angka itu tak mungkin dia lupa, jadi tidak mungkin juga dia salah memasukkan pin. Lalu kenapa bisa semua pinnya mendadak terblokir begini?

"Kenapa, Mas? Ada masalah?" Ayumi datang menghampiri setelah dilihatnya Argantara memakan waktu terlalu banyak sekadar untuk membayar makanan mereka.

"Itu, Mbak. Bapaknya lupa terus sama pinnya."

"Hei, jangan kurang ajar. Saya bukannya pikun." Argantara terus menyambar dengan tersinggung. Wajah si kasir langsung penuh akan ketakutan.

"Mas. Kasirnya nggak ada bilang kamu pikun kok." Ayumi menengahi sambil mengusap lengan Argantara. Laki-laki itu tampak kesal sekali. "Pakai kartu saya kalau gitu. Tunggu."

Tapi Argantara menahan tangan Ayumi yang bermaksud mengambil dompet di dalam tasnya. "Nggak, Ay. Aku yang bayar," katanya dengan suara rendah. "Banking saja. Tuliskan nomor rekeningnya," lanjut Argantara masih dengan nada dingin.

Kali itu berhasil. Kasir itu mendapatkan haknya. Sementara Argantara makin yakin ada yang sengaja membuat hidupnya sulit.

***

Sudah pukul sebelas malam ketika Argantara tiba di rumahnya. Anjani belum tidur, bahkan dia pula yang membukakan pintu. Raut cemas bergelayut di wajah senja nan cantik itu, terlebih ketika melihat putranya pulang dalam keadaan yang bisa dibilang berantakan. Wajahnya terlihat lelah, rambutnya berantakan, belum lagi dengan bau keringatnya yang menguar ke mana-mana.

"Kok malam banget, Ga?"

"Bengkel lagi tadi, Ma."

"Lagi?" Anjani berseru heran. "Kenapa lagi sekarang?"

"Klasik. Ban mobil kena paku."

"Ish. Nggak kreatif bener itu pacarmu, Ga."

Argantara berhenti berjalan dan menoleh pada ibunya. "Kenapa jadi bahas Ayumi?"

"Ya memang dia pelakunya."

Kalau dalam keadaan normal, Argantara pasti tak akan berpikir dua kali untuk membela Ayumi dan mematahkan tuduhan ibunya yang tak berdasar. Hanya saja, fisiknya sungguh sedang jatuh sekarang. Dia lebih butuh minun dan memakan sesuatu daripada menanggapi Anjani dan segala pemikiran buruknya. Untunglah di kulkas masih ada susu instan dan juga buah segar.

Sambil mengunyah pir, Argantara melepas kemejanya yang lepek dan basah. Semua pintu dan jendela rumah sudah tertutup, jadilah Argantara masih saja merasakan gerah nan menyiksa. Meski begitu, dia tak mau mengeluh. Sebah keluhan ini hanya akan membuat Anjani menuding Ayumi lagi.

Lempar Dendam Sembunyi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang