22. Korban Penipuan

7.5K 1.3K 64
                                    

Seminggu sudah Ayumi kembali ke rumah ibunya. Yang bisa dia kerjakan saat ini hanya melamun, tidur, dan melamun lagi. Padahal biasanya gadis itu adalah anak yang rajin. Ketika tidak sedang bekerja, dia pasti ikut menenggelamkan diri di dapur bersama Lani dan dua karyawannya untuk menyiapkan pesanan pelanggan. Ketika pekerjaan di dapur sudah mulai berkurang, Ayumi masih punya sebidang taman yang dipenuhi beberapa jenis bunga yang bisa dia rawat. Sayangnya, semua hal tak lagi menarik untuk gadis bermata kosong itu.

"Masih tidur paling. Semalam tante dengar dia nangis lagi."

Suara Lani jadi hal pertama yang Ayumi dengar ketika dirinya masuk ke dapur. Wanita bertubuh sedikit gemuk itu sedang berhadapan dengan bertumpuk-tumpuk sayuran. Ponselnya dijepit di antara telinga dan punsak. Kalau tidak salah, malam nanti Lani harus mengirim  dua ratus box nasi untuk acara pengajian di kompleks sebelah. Dua karyawan Lani yang lain juga sudah bersiap di dapur. Salah satunya membersihkan ayam, sisanya sedang betekur dengan bawang-bawangan dan aneka rempah.

"Jangan salah. Dia itu jauh dari kata cengeng. Makanya tante kaget, karena belakangan ini matanya sembab terus."

"..."

"Nggak lah. Baru sekarang-sekarang ini. Sama Reza, dia itu kaku dan cuek abis. Si cowok yang malah bolak-balik ngeluh ke tante."

Bibir Ayumi merengut. Dia merasa bahwa Lani sedang membicarakannya, sebab benar halnya semalam dia menangis. Benar juga, kalau biasanya dia tidak cengeng tapi belakangan berubah jadi si melo. "Ibu bicara sama siapa?" tanya gadis itu untuk menuntaskan rasa penasaran yang sekarang bercokol di benak.

Terkaget, Lani memutar tubuh secara spontan. Bibirnya langsung mengulum senyum kikuk ketika melihat putrinya bersandar di kusen pintu sambil melipat tangan di depan dada, terlihat berantakan dan selalu terkesan angkuh.

"Ini...." Lani menggantung kalimatnya. Ponsel tua itu juga masih menempel di telinga. "Ardi. Anaknya Tante Suri. Kamu ingat, kan?"

Ayumi mungkin tidak berteman baik, tapi dia hampir ingat semua nama yang pernah singgah ke hidupnya. Entah itu yang meninggalkan pengalaman mengerikan atau malah sebuah kesan yang begitu mendalam. Jadi, tentu saja Ayumi ingat siapa yang dimaksud dengan Ardi. Apalagi ini Ardi, seseorang yang masih bisa dia sebut sepupu sangat jauh, sebab Lani dan Suri pun bukan sepupu kandung.

Ingat apa tujuannya datang ke dapur, Ayumi mengabaikan Lani dan sambungannya. Segera, ia bergegas mendekati dispenser. Ia tuang segelas air ke sana untuk membuat tenggorokannya jadi tak seberapa gersang.

"Yu," panggil Lani lagi. Ayumi mendekat, mengambil duduk sambil menyantap satu pisang goreng yang tersaji di atas meja. "Ardi nanya, kenapa ponselmu nggak buruan diaktifin?"

Ayumi mengerutkan kening. "Dia punya nomorku, Bu?" tanyanya heran.

"Ya punya lah. Memangnya kamu nggak?"

Polos saja Ayumi menggeleng. Hubungan mereka sungguh tak bisa dibilang baik. Semula mereka kaku dan saling mengacuhkan. Lama kelamaan mereka bisa dibilang dekat dan hampir saja membuat Ayumi nyaman untuk sekadar bertukar kabar. Tapi belakangan, Ardi malah menyatakan perasaannya. Itu membuat Ayumi enggan, lalu semena-mena menyuarakan penolakan. Setelahnya, Ayumi membangun tembok tinggi berbahan dasar kristal es. Dia bersikap dingin dan semakin dingin. Ardi jadi tahu diri dan lama-lama mereka kembali bersikap seolah tak saling mengenal.

Itu sudah nyaris lima tahun lalu. Mereka bertemu sesekali, tapi tak pernah saling menyapa. Makanya wajar jika kemudian Ayumi terheran-heran mendapati kenyataan bahwa Ardi masih menyimpan nomornya bahkan peduli soal aktif atau tidak aktifnya dia?

"Itu masih Ardi?" tanya Ayumi dengan ragu.

Lani mengangguk. Tersenyum yang sedikit membuat Ayumi semakin menaruh curiga. "Mau bicara? Kebetulan dia pengen denger suaramu serak galakmu, katanya."

Lempar Dendam Sembunyi Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang