[short story]
Jimin duduk termenung di teras, sambil memandangi Taehyung yang sedang bercengkrama dengan tukang kebun yang merapikan tanaman. Jimin masih menikmati rasa leganya, setelah sang ibu meminta maaf semalam karena sudah membiarkan Shasha mendapatkan akses untuk menguasai Jimin.
Mata nyonya Han memerah, rahangnya mengeras, setelah mendengar recording dari ponsel Taehyung. Perawat itu sengaja menemui sang nyonya besar saat Jimin sedang tertidur. Ia mengatakan semua sikap Jimin setiap kali Shasha datang. Namun Taehyung tidak mengatakan banyak hal, selain memberikan rekaman itu pada nyonya Han, membiarkan majikannya mencerna sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
"Kau yakin ini adalah suara Shasha?"
Taehyung mengangguk. "Semua itu nona Shasha katakan tepat setelah Anda menjauhi kamar tuan muda Jimin. Nona Shasha juga menyuruhku untuk meninggalkan kamar. Butuh privasi, katanya. Aku menuruti, tapi aku tidak meninggalkan kamar tuan muda begitu saja." ujarnya. Nyonya Han menggigit bibir. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun, tapi ia tidak bisa meluapkannya begitu saja.
"Aku hanya ingin menyampaikan itu saja, Nyonya. Kurasa aku harus mengantarkan tuan muda ke rumah sakit. Aku permisi, Nyonya."
Jimin tersenyum tipis, mengingat betapa beraninya Taehyung mengambil langkah untuk menyelamatkan dirinya dari kungkungan Shasha.
Setelah puas bercakap dengan tukang kebun, akhirnya Taehyung menggiring Jimin menuju kamar untuk berganti pakaian karena mereka kembali ada janji dengan dokter di rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, tidak perlu menunggu terlalu lama sampai Jimin disapa oleh dokternya. Dokter Namjoon menyambut mereka seperti biasa. Namun, situasi terasa sangat berbeda saat Jimin meminta Taehyung untuk menunggu di luar ruangan saja.
"Kenapa? Bukankah seharusnya aku berada di sampingmu?" tanya Taehyung, bingung karena permintaan itu tidaklah biasa. Tugas Taehyung adalah mendampingi Jimin ke mana pun, bahkan saat dokter ingin menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan kondisi Jimin. Kali ini, Taehyung merasa sedikit aneh karena ia tidak dilibatkan.
"Kumohon, Taehyung. Mengertilah." Nada dingin yang biasa Jimin lontarkan tidak terdengar, dan itu membuat Taehyung luluh. Ia mengalah. Membiarkan dirinya menunggu sekitar dua puluh menit dalam rasa penasaran.
Mereka kembali ke rumah dengan berdiam diri sepanjang jalan. Jimin tidak menjelaskan apa-apa, begitu pula dengan Taehyung yang tidak menanyakan apa-apa.
Semua berjalan seperti biasa, hingga seminggu setelahnya, Taehyung menerima sebuah surat yang dititipkan Yaya untuk Jimin. Surat dari rumah sakit.
"Kenapa tidak dibuka suratnya? Bukankah itu surat yang penting?" tanya Taehyung setelah menyodorkan amplop cokelat pada Jimin. Sang tuan muda melirik ke amplop cokelat yang ada di pangkuannya. Tanpa perlu membukanya pun, Jimin sudah tahu apa isinya.
Taehyung merasa bodoh karena harus bertanya seperti itu, sementara ia tahu kondisi Jimin yang pasti tidak bisa membuka surat itu sendiri. Dengan inisiatifnya, ia mengambil amplop cokelat itu. "Hei!" protes Jimin, yang tidak bisa berbuat apa-apa saat Taehyung membuka perekat amplop dan menarik sebuah kertas dari dalamnya.
Suasana hening sejenak karena Taehyung dengan serius membaca kalimat demi kalimat yang ada di surat itu. Mata Taehyung menjadi serius. Ia berdeham dan menatap tajam pada Jimin yang kini memalingkan wajah, menghindari kontak mata dengan Taehyung.
"Apa maksud dari ini?" tanya Taehyung.
Jimin berpejam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Kau sudah membantuku tentang Shasha. Kuharap kau bisa membantuku lagi kali ini dengan tidak membocorkan hal ini pada siapa pun." tutur Jimin. Taehyung berdecih tidak percaya. Ia mengangkat surat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORANGE
Storie breviBagiku, dia adalah definisi kesempurnaan. (Kumpulan cerita pendek)