Psycho Pt. 1

984 106 26
                                    

Hello, hai. Jadi sebelum ke ceritanya, coba aku mau meracau dulu.

Cerpen ini aku ciptain karena semalam aku mimpi tentang Jimin. Benar-benar ada Jimin. Hahahalu sekali. Tapi, karena mimpinya sedikit complicated dan agak menyeramkan, akhirnya kuputuskan untuk jadiin cerita aja deh. Sama seperti Finding The Miracle, yang ceritanya terinspirasi dari mimpiku.

Ini kisahnya agak aneh alurnya, agak berantakan mungkin ya. Namanya juga mimpi. Setting, alur, jalannya, semua sedikit tidak masuk akal. Jadi mungkin cerita ini juga akan terasa nggak masuk akal. Tapi yah karena aku gemes, daripada cuma muter-muter di otak doang ingatan tentang mimpinya, akhirnya aku tuliskan aja.

Maybe, I will put this short story into two parts. Udah gemes mau share ke kalian gimana mimpinya aku. Part satu dulu untuk hari ini. Kalau nanti malam sanggup, part dua meluncur juga nanti malam. Tapi kalau ternyata nggak sanggup, yah tunggu sejenak ya dalam sabar. Heheh.

Well, enjoy the show~

[short story]

Jimin berlari dengan tergopoh-gopoh. Tidak peduli tubuhnya berkali-kali menubruk orang-orang di jalanan yang ramai. Jimin hanya menunduk cepat untuk meminta maaf, lalu melanjutkan langkah cepatnya. Dadanya mulai terasa sesak. Wajahnya yang pucat tertutup oleh masker hitam yang sengaja ia pakai untuk menyamarkan diri. Namun, sepertinya caranya tidak begitu berhasil. Seseorang yang bertubuh tegap berhasil menangkap sosok Jimin. Jimin membelalak. Rasa takut dalam hatinya meledak-ledak hingga ia berlari tak tentu arah. 

Tidak memedulikan sesak dan nyeri di dadanya. Saat merasa sosok yang mengejarnya semakin dekat, Jimin berbelok. Nekat memasuki gang kecil yang sangat gelap. Ia menabrak kardus, tong sampah, dan segalanya. Ia memejamkan mata beberapa kali, menahan rasa sakit yang menyergap seluruh tubuhnya. Sampai di ujung lorong sempit itu, ia melihat cahaya. Namun, cahaya itu menghilang ia merasakan dirinya tersungkur ke tanah. Ia mencoba mendongak. Tubuhnya terasa diangkat. Matanya masih bisa terbuka, meski hanya sedikit. Bayangan seseorang, entah itu siapa. Jimin menelan ludah, napasnya benar-benar sesak. "Tolong..." itu ucapannya terakhir, sebelum pandangannya menggelap sepenuhnya.

***

Kepala Jimin berdenyut nyeri saat ia membuka mata. Ia rasakan tubuhnya hangat. "Sudah matikah?" batinnya. Ia mengerjap, memperhatikan langit-langit ruangan yang berwarna putih. Ia mencium aroma kopi. Jimin bangkit dan memperhatikan tangan dan tubuhnya. Masih lengkap. Ia juga mencubit lengannya. Sakit. Artinya ia tidak bermimpi.

"Hei, sudah sadar rupanya?" seseorang mendekati Jimin, lalu memegang kening Jimin tanpa permisi. Jimin menghindar, namun tidak berhasil karena kini tangan orang itu sudah bertengger di kening Jimin.

"Masih demam. Kau makan dulu, lalu minum obat." Ujar orang asing itu lagi, lalu mengambil mangkuk dari atas meja yang tak jauh dari pembaringan Jimin.

"Dimana aku?" tanya Jimin.

"Di tempat yang aman."

"Dimana?"

"Rumahku."

"Kau siapa?"

"Penyelamat."

Jimin berdecih. Tidak percaya pada orang ini. Penyelamat apanya. Jimin tidak bisa dikelabui dengan kata-kata penyelamat lagi. Jimin sudah dua kali ditipu dengan kata-kata itu.

"Aku tidak butuh kebaikanmu." Jimin menyingkap selimutnya dan bersiap untuk berdiri ketika kakinya benar-benar melemah dan membuatnya terjatuh ke lantai. Orang itu cepat-cepat membantu Jimin.

"Sudah kubilang, kau harus makan dulu. Tubuhmu lemah sekali."

"Ya. Aku memang lemah. Aku sakit. Tapi aku tidak butuh penyelamat sepertimu. Aku tidak takut mati. Aku rela mati daripada harus dipaksa hidup untuk menjadi boneka."

Orang itu mengernyit. "Jadi kau kabur dari seseorang?"

Jimin menggigit bibirnya. Ia benar-benar takut sekarang. Tatapannya yang tajam semata-mata untuk menutupi kecemasan dan ketakutannya. Kakaknya sendiri, yang mengaku menyayangi dan ingin menyelamatkannya, ternyata hanya seorang iblis posesif yang ingin memiliki adiknya. Tidak rela penyakit mematikan itu merenggut nyawa sang adik. Tidak rela sang adik luruh bersama tanah.

"Aku memang ingin mati, tapi tidak di tanganmu atau di tangan kakakku."

"Apa aku terlihat seperti seorang psikopat?"

Jimin memandangi pemuda di hadapannya ini dengan seksama. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Seorang psikopat tidak harus terlihat seperti psikopat." Jawab Jimin sinis.

Orang itu berdiri, kembali ke dapur untuk mengambil kopinya. "Taehyung. Orang yang kau kira adalah psikopat ini bernama Taehyung."

Jimin masih dengan wajah cemberutnya. Siapa peduli dengan nama. Jimin pun tidak bertanya.

"Kau tidak ada nama?" tanya Taehyung.

"Tidak."

Taehyung tertawa. "Baiklah, Tuan Tanpa Nama. Setidaknya, karanglah sebuah nama agar kita bisa lebih mudah untuk menyapa satu sama lain."

"Jimin." Ucapan itu terlontar dari mulut Jimin sendiri. Entah mengapa senyum dan tatapan Taehyung menghangatkan hatinya dan membuatnya melunak, hingga tanpa sadar rela memberitahukan namanya.

Taehyung tersenyum miring, merasa puas dengan jawaban yang ia dapat. "Baiklah, Jimin. Kau boleh menyebutku psikopat, pembunuh, atau apapun yang kau inginkan. Tapi untuk sekarang, aku harap kau mau makan dan beristirahat. Aku tidak ingin ada seseorang mati karena kelaparan atau sekarat karena penyakitnya di rumahku."

***

Jimin sakit. Taehyung tahu itu. Tidak pernah sedikitpun Taehyung bertanya tentang penyakit Jimin sejak ia menyelamatkan waktu itu. Yang terpenting, Jimin masih bisa bernapas, meski selalu bergulat dengan kesakitan yang datang tiba-tiba.

"Masih sakit?" tanya Taehyung sambil mengusapi punggung Jimin. Jimin mengangguk. Masih meringis sambil berbaring miring dengan wajah menghadap Taehyung. Taehyung terus mengusap punggungnya. Sesekali memegang kening Jimin, memastikan suhu tubuhnya tidak naik.

Jimin masih bandel. Menolak untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Khawatir bahwa sang kakak mungkin akan menemukannya. Taehyung menurut saja. Ia pikir kondisi Jimin masih bisa dikendalikan. Namun, secepat kilat Taehyung mengubah pikirannya setelah melihat darah mengalir dari hidung Jimin yang sedang berbaring. Memenuhi bantal putih dengan noda merah. Napas Jimin mulai tersengal dan kernyitan di keningnya tidak menghilang. Taehyung mengangkat Jimin, tidak peduli seberapa keras protes yang Jimin keluarkan. Ia membopong tubuh lemah pemuda itu, masuk ke dalam mobil dan mengangkutnya ke rumah sakit.

"Sering begini?" tanya sang dokter yang menangani.

"Sepertinya iya."

Sang dokter mengernyit heran. Namun, tidak ingin terlalu banyak bertanya karena kondisi Jimin benar-benar parah. Setelah beberapa jam berapa di ruang UGD, Jimin dipindahkan ke ruang rawat biasa. Kamarnya bersamaan dengan empat pasien lain.

"Sebentar lagi kita pulang." Bisik Taehyung saat Jimin sudah sadar.

"Aku mau mati saja, Taehyung." Ujarnya. Taehyung memejamkan mata sambil menghela napas panjang. Ucapan itu terlalu sering Jimin lontarkan. Taehyung tidak tahan mendengar racauan penuh putus asa Jimin dan memutuskan untuk pergi sejenak. Meninggalkan Jimin. Taehyung butuh peregangan untuk meredakan hatinya yang cemas dan pikirannya yang berputar karena melihat keadaan Jimin. Secangkir kopi hangat mungkin bisa meredakan kepusingannya. Setelah menghabiskan satu gelas kecil kopi hitam, Taehyung kembali ke bangsal. Kali ini, hatinya lebih tenang. Namun, adrenalinnya kembali terpacu saat melihat brankar Jimin kosong. Jimin menghilang. 

[short story]

See you soon

Wella loves you always

21 April 2020

(03.52 pm)

ORANGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang