Huh, sudah lama. Bongkar-bongkar, ternyata ada draft ini. Kubagikan saja ya, biar bisa dibaca. Sudah lama nggak dengar kabar Jimin yang kesekian, kan.
[short]
Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi berada di sini. Memandangi perawat yang lalu lalang sembari menunggu namaku dipanggil.
"Han Jimin!"
Baru saja aku hendak mengkhayalkan kekasihku yang mungkin sedang dalam perjalanan menuju rumahnya dari bandara. Aku mengecewakannya dengan mengatakan bahwa aku tidak bisa menjemput setelah seminggu tidak bertemu. Yurim lebih terkenal dan bertalenta, jadi di tengah kuliahnya saja, ia mendapatkan panggilan untuk mengisi materi di salah satu universitas lokal di luar kota. Kebetulan, aku dan Yurim satu jurusan, yaitu Teater dan Drama. Kami adalah calon aktris dan aktor yang tidak lulus-lulus karena terlalu banyak kegiatan di luar kuliah. Setiap bulan, aku harus membantu ibuku untuk mengurus perusahaan agensinya di bidang hiburan, yang setiap tahun berhasil mencetak aktris, aktor, penyanyi dan model yang bisa meroket setelah debut. Aku adalah penerus tunggal. Tidak punya adik atau kakak. Tidak ada yang bisa Ibu harapkan selain aku, jadi ya begitulah. Aku harus membagi waktu.
Kembali ke Yurim. Dia pasti kecewa sekali karena kekasih tampannya ini malah terjebak di rumah sakit. Terhipnotis oleh ancaman dokter yang mengatakan bahwa ini adalah perkara hidup dan mati. Jadi aku harus datang untuk mendengar hasil pemeriksaan yang sudah kulakukan dua minggu lalu.
Aku masuk ke sebuah ruangan yang mencekam. Tidak benar-benar mengerikan. Aku hanya mengarang saja. Ruangannya luas. Dokter yang ada di hadapanku ini memang salah satu dokter senior yang hebat. Aku memilihnya karena pasti bisa dipercaya. Sebenarnya bukan aku yang memilih, tapi dokter ini adalah hasil rujukan setelah aku dua kali masuk UGD karena kecelakaan ringan sewaktu menyetir mobil. Tanganku bergetar tiba-tiba dan membuat aku hilang kendali pada setir, membuatku harus bayar dua kali untuk reparasi mobilku satu-satunya. Ibu tidak akan mengizinkanku untuk membeli mobil baru. "Lulus dulu kuliahmu, baru minta mobil baru," tukasnya saat kupancing tentang mobil keluaran Jepang yang terbaru. Ibu memang payah, tidak bisa diajak negosiasi.
"Bagaimana perasaanmu hari ini?" Tanya sang dokter tanpa menoleh padaku. Sombong sekali dan sok keren. Dia pikir kelihatan menawan saat bicara pada orang sambil melihat kertas di depannya?
"Baik." Jawabku singkat. Aku menggerakkan kakiku. Sedikit gugup, jujur saja. Atau mungkin ini hanya pengulangan dari kejadian yang sudah-sudah, saat tangan dan kakiku tiba-tiba bergetar.
"Tanganmu masih tremor?" Dokter itu menyadari tanganku yang sudah sengaja aku kepal dan kuletakkan di paha.
"Hehe. Tidak serius, Dokter. Mungkin ini karena terlalu gugup. Baru pertama kalinya aku masuk ke ruangan dokter spesialis neurologi.
"Tidak meminum obatmu?"
Aku tertegun. Aku lupa meminum obat yang diberikan setelah keluar dari rumah sakit. Aku pikir, obat itu hanya bingkisan, tidak perlu diminum jika tidak ingin. Lagipula, aku sudah merasa sehat waktu itu. Bahkan sekarang aku merasa sangat sehat.
"Aku sudah lebih baik kok, Dokter."
Sang dokter berdecak, membuatku tersentak. Ah, kelihatan payah sekali harus tersentak di depan seorang dokter.
"Ini yang membuat umurku lebih pendek dari yang seharusnya. Salah satunya karena harus menghadapi pasien yang tidak bisa diajak kerja sama seperti dirimu."
Aduh, malu sekali diomeli oleh dokter. Aku hanya bisa menelan ludah sambil menunduk. Tidak berani menatap dokter yang kelihatan muda tapi tidak bisa diremehkan. Tatapannya ganas. Aku tidak mampu untuk melawannya. Yakin sekali. Dari segi kepintaran, ketampanan, dan tinggi badan? Dokter ini jauh lebih tinggi dariku yang hanya 168 cm. Terlalu rendah untuk ukuran pria dewasa seperti aku ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/209511056-288-k292508.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ORANGE
Short StoryBagiku, dia adalah definisi kesempurnaan. (Kumpulan cerita pendek)