I Can't Be Like Them

1.1K 105 84
                                    

Seorang pria membolak-balik folder berisi daftar harga dan penjelasan dari sebuah lembaga pendidikan.

"Bisakah guru dari sini didatangkan ke rumah?"

"Mohon maaf, Tuan. Tapi untuk saat ini kami belum menyediakan jasa pengajar yang bersedia datang ke rumah."

Hoseok menghela napas panjang. Sulit baginya mencari tempat bimbingan belajar yang memberikan jasa untuk mengajari di rumah. Entah mengapa zaman sekarang sulit sekali untuk mencari guru privat yang datang ke rumah. Setelah menimbang dalam waktu yang singkat, Hoseok memutuskan untuk menyelesaikan pembayaran untuk les tambahan putranya.

Saat sudah menyelesaikan urusan, Hoseok kembali ke mobil.

"Aku tidak mau les lagi, Yah." Gumam sang putra saat Hoseok baru saja selesai memasang safety-beltnya. Hoseok mengernyit. "Kenapa? Ayah sudah bayar untuk tiga bulan ke depan, Jimin-ah."

"Aku sudah bilang, Ayah. Aku tidak suka belajar. Ayah tahu kan banyak kata yang tidak aku mengerti."

Ya, itulah mengapa Hoseok bekerja keras, mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi putranya.

"Jimin-ah, karena itulah kau harus mengikuti pelajaran tambahan. Apalagi kau sudah SMA."

Jimin berdecih. "Aku pun bingung bagaimana bisa aku lulus SMP saat aku bahkan tidak tahu apa yang tertulis di kertas ujian."

Hoseok berdeham kikuk. Tentu saja ia tidak ingin anaknya tidak lulus ujian. Apapun akan ia lakukan meski harus menggunakan cara yang tidak sepatutnya. Jimin tahu, jelas tahu. Jimin bukan remaja tanggun bodoh yang terima-terima saja dengan apa yang disodorkan padanya. Ia paham, sang ayah khawatir bukan main dengan kelangsungan hidupnya. Tapi Jimin tidak bisa paham alasan sang ayah terlalu ketakutan dan mengagungkan akademik, demi masa depan.

"Yang penting sekarang, kau harus belajar lebih giat lagi. Beberapa bulan ini, bergabunglah dengan teman-temanmu yang juga memiliki les tambahan. Nanti Ayah akan mencarikanmu guru privat yang bisa mengajarimu di rumah."

Jimin mengembuskan napas sambil memutar bola matanya, malas. Apa saja yang ia katakana tidak akan ditanggapi oleh sang ayah. Ayahnya hanya berpikir tentang belajar, belajar, dan belajar. Tanpa peduli jika semua hal berhubungan dengan buku, belajar dan sekolah membuat Jimin benar-benar muak.

Tiga bulan sudah Jimin merasakan jenuhnya belajar dengan teman-temannya. Yang menyenangkan hanya saat jam les tambahan habis. Jimin bisa menunggu bersama teman-temannya dan berbicara tentang banyak hal.

"Hei, Jimin. Kau mau pinjam catatanku? Kurasa, banyak tulisan di bukumu yang masih kurang lengkap." Minjae menawarkan. Jimin tersenyum. "Memangnya catatanmu sama dengan materi yang dibahas di sekolahku?"

"Dari yang kulihat sih sepertinya sama. Sekolahmu menggunakan buku panduan ini juga kan?" Minjae menunjukkan buku cetak yang juga sama dengan yang ada di tas Jimin. Jimin mengangguk, meski tidak yakin benar apakah buku mereka benar-benar sama atau tidak. Yang penting, warna buku yang mereka gunakan sama. Seingat Jimin.

Akhirnya, Jimin menerima catatan Minjae. Tapi kemudian, ia menyodorkannya kembali.

"Loh, kenapa? Dibawa pulang saja. Aku sudah hapal semua isinya. Tinggal mengulang pelajarannya di rumah dan aku tidak membutuhkannya. Sudah disalin disini." Minjae menunjuk dahinya sambil tersenyum miring.

"Tidak apa. Aku khawatir aku menghilangkannya. Aku ini pelupa, Minjae. Sudah, tak apa. Aku bisa menyalin sendiri materi pelajarannya dari buku cetakku. Terima kasih banyak ya."

Tak lama, Jimin dijemput oleh sang ayah. Ia berpamitan dengan Minjae dan langsung memasuki mobil. Mata Minjae tidak lepas dari Jimin yang masih melambai meski sudah berada di dalam mobil. Rasa penasaran Minjae pada Jimin semakin besar saat ia menyadari bahwa di buku Jimin tidak pernah ada catatan dengan tulisan tangan. Hanya ada catatan dari kertas-kertas yang dipotong menyesuaikan ukuran buku dan ditempel. Tidak pernah ada tulisan tangan. Minjae ingin bertanya banyak hal mengenai Jimin tapi tak pernah ia lakukan karena ia baru saja mengenal remaja itu. Minjae bertekad untuk memberanikan diri, bertanya mengenai hal-hal yang ingin ia ketahui dari Jimin minggu depan. Sayangnya, setelah Jimin menolak buku catatannya waktu itu, Jimin tidak pernah terlihat lagi. Jimin tidak datang untuk les tambahan lagi.

ORANGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang