Psycho Pt. 2

892 99 37
                                    

[short story]

Jimin sudah sadar, namun ia sengaja terus memejamkan mata. Hawa dingin ini, ia tahu betul ini posisinya sekarang. Sentuhan sang kakak sangat familier. Tubuhnya disuntikkan obat sebelum ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. 

"Jimin .... Sudah sampai di rumah." suara bisikan itu terdengar di telinga Jimin. Jimin berdebar, ketakutan menggerayanginya. 

"Kau tidak ingin bangun dan mengucapkan terima kasih pada kakakmu sebelum membuatmu jadi abadi?" 

Sungguh. Jimin ingin sekali mati saja. Tanpa harus merasakan sakit dengan mendengar tawa puas kakak obsesifnya ini. Hyunjoong adalah kakak Jimin satu-satunya. Kehilangan kedua orang tua mereka di saat mereka masih belia membuat Hyunjoong terdorong untuk menjadi laki-laki kuat dan tegar. Berusaha sekuat tenaga menjaga sang adik sendirian. Jimin mengagumi sang kakak sebelum ini terjadi. 

Hyunjoong menumbuhkan rasa sayang yang berlebihan. Ketika Jimin mendapatkan diagnosis dari dokter bahwa ia menderita sebuah penyakit mematikan, Hyunjoong merasa tidak rela. Ia tidak ingin Jimin lenyap begitu saja. Ia ingin Jimin tidak lebur dengan tanah. Ia ingin Jimin selalu ada, secara fisik, di dunianya. Meskipun harus menjadi sebuah boneka. 

Jimin akan diawetkan. Disuntik dengan cairan yang bisa membuat tubuh Jimin mengeras. Sayangnya, Hyunjoong bahkan tidak ingin menunggu terlalu lama sampai Jimin benar-benar sekarat. Ia ingin adiknya yang kekal sekarang. Dijadikan boneka, hidup-hidup. 

"Tidak apa-apa, Jimin. Kalau kau tidak ingin melihat Kakak lagi. Yang penting, aku bisa melihatmu terus di depan televisi. Atau kau bisa kuajak duduk bersama di ruang makan. Kau tidak perlu melakukan banyak hal lagi. Kau hanya perlu ada. Aku akan mewujudkan hal itu sesegera mungkin, Jimin. Kau tidak akan sakit lagi."

Jimin berpejam kuat. Ia sungguh mengutuk semua yang kakaknya lakukan dan katakan. Ia ingin memberontak. Memberikan perlawanan. Namun efek obat yang diberikan padanya tidak bisa menghilang begitu saja. 

Ujung jarum sudah Jimin rasakan hampir menusuk ke kulit tangannya. Ia mengeratkan pejaman, berharap tak ada rasa sakit saat jarum itu sepenuhnya menusuk ke dalam tubuhnya. Namun, saat ia rasakan ujung jarum menekan bagian lapisan paling luar kulitnya, ia mendengar pintu digebrak. 

"Angkat tangan! Jangan bergerak!" 

Tak lama, terdengar suara tembakan di ruangan. Tubuh Jimin masih meringkuk tak berdaya. Namun, ia bisa mendengar jelas semua kebisingan yang terjadi. Ia merasakan tubuhnya digotong oleh beberapa orang, entah siapa. 

"Tuan, korban akan langsung dilarikan ke rumah sakit." 

Sesuai perintah dari pimpinan, petugas kepolisian dan juga tim medis melakukan tugasnya masing-masing. Jimin masih tidak bisa mengerti situasi. Yang ia ingat terakhir adalah tubuhnya terasa diangkut ke dalam mobil, yang ia yakini ada mobil ambulans dan sebelum kesadarannya hilang, sayup-sayup ia mendengar suara seseorang. Seseorang yang ia kenali. 

"Bertahanlah sedikit lagi, Jimin." 

***  

Untuk kesekian kalinya, Jimin merasakan kepalanya berdenyut nyeri setiap membuka mata. Rasanya ingin sekali ia tak membuka mata lagi. Membiarkan rasa sakitnya hilang meski ia tahu bahwa jika itu terjadi, ia akan kehilangan semua rasa, termasuk nyawanya sendiri. 

"Jimin ..."

"Sudah mati ya?" ucapan itu selalu terlontar dari mulut Jimin setiap kali ia membuka mata. Berharap sekali ada yang mengiyakan pertanyaan itu. 

"Sayangnya, belum. Kau masih di dunia."

Jimin mengembuskan napas kecewa. Ia kembali memejamkan matanya, menghela napas panjang untuk siap menerima kenyataan. Jimin merasa bahwa dirinya masih harus merasakan lelah. Lelah dikejar oleh rasa takut. Ketakutan akan kakaknya yang obsesif dan gila. Sang kakak terlalu kuat dan pintar untuk menemukan Jimin, sekuat apapun Jimin berlari dan bersembunyi.

ORANGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang