For Being Here

1.3K 130 118
                                        

Jimin mengerjakan tugasnya dengan serius di ruang kerja sang ayah. Meski ayahnya sudah menyuruhnya mengerjakan di kamar, tapi ia tidak mengindahkan. Sebenarnya sang ayah tidak merasa keberatan jika anaknya berada bersamanya di dalam satu ruangan. Hanya saja, sang ayah berpikir bahwa Jimin malah akan terganggu dengan suara beberapa orang yang memang sedang bekerja di ruangan itu. Ada dua orang lainnya yang mendampingi sang ayah menyelesaikan perhitungan keuangan.

"Jimin-ah ... Ayah, Paman Jungho dan Bibi Hana masih akan berdiskusi sampai malam. Tidak ke kamar saja? Minta temani Bibi Minju."

Jimin berdecak. "Bibi Minju pasti sudah tidur, Ayah. Dia kan sudah bekerja seharian mengurusi rumah. Aku tidak ingin sendirian di kamar. Aku bisa kok mengerjakan tugasku disini dengan konsentrasi. Kalian teruskan saja diskusinya. Aku tidak akan berisik. Apalagi mengganggu. Aku tidak suka kesunyian di dalam kamar. Malah tidak bisa tidur nantinya."

Sang ayah mengembuskan napas pasrah. Sudah dibujuk, tapi tetap saja tidak mau.

"Sudah, Namjoon. Tidak apa-apa. Dia tidak menganggu kan? Lagipula, aku tidak masalah ada Jimin disini. Bisa jadi hiburan sebentar jika otakku sudah terlalu penuh dengan angka-angka ini." Hana berkelakar ringan, memberi kelegaan pada hati Namjoon yang sempat khawatir rekan kerjanya akan merasa tidak senang dengan kehadiran Jimin.

"Memangnya aku badut bagi Bibi ya?" sahut Jimin sambil mengerucutkan bibirnya. Hana terkekeh sambil mengerutkan hidung. Menggoda Jimin yang menurutnya sangat menggemaskan.

Namjoon kembali berkutat dengan pekerjaannya yang tidak kunjung selesai meski sudah hampir pukul sepuluh malam. Sesekali Jimin melirik pada ayahnya yang tidak melepas pandangan dari helai-helai kertas di atas meja. Jimin memandangi sang ayah yang memasang wajah serius. Ingin rasanya ia memaksa Namjoon untuk berhenti menatap tulisan-tulisan memusingkan itu dan menarik sang ayah ke kamar. Menyuruhnya beristirahat. Tapi, Jimin tidak berani melakukan itu. Ia tahu, sang ayah bekerja keras untuk dirinya. Ia tidak boleh menjadi anak yang keras. Ia harus menjadi anak yang tidak membebani pikiran ayahnya. Jadi, Jimin hanya bisa begini. Melihat sang ayah. Memperhatikan ayahnya yang semakin hari semakin tampak lelah.

Berjam-jam sudah berlalu. Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Dua rekan Namjoon sudah tidak kuasa menahan rasa lelah mereka. "Kita lanjutkan besok saja. Setidaknya, sudah ada yang tertera di laporan. Besok dirapikan lagi." Ujar Namjoon yang diikuti oleh embusan napas lega dari kedua rekannya. Ucapan Namjoon adalah pertanda bahwa mereka boleh pulang.

Hana yang siap untuk pulang menghentikan langkahnya sejenak untuk menghampiri Jimin yang sudah terlelap di atas sofa. Tubuhnya dimiringkan sehingga wajahnya membelakangi siapa saja yang mendekatinya. Hana mengusap pelan kepala remaja menggemaskan itu. "Anakmu sudah tertidur, Namjoon." Ujarnya sambil mendongak.

"Nanti akan kupindahkan dia." Ujar Namjoon. Hana kembali berdiri, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, untuk melihat wajah menggemaskan Jimin yang tertidur sebelum ia pulang. Senyum terlukis dari wajahnya, membayangkan Jimin yang pasti terlihat sangat lucu. Tapi senyum itu memudar ketika melihat sesuatu yang aneh.

"Namjoon ..." ucap Hana dengan suara lirih. Hana tidak bisa menahan tangannya untuk memegang pipi Jimin yang ternyata dingin. Kemudian, ia memegang bagian bawah hidung Jimin.

Namjoon terbelalak saat melihat Hana menunjukkan jarinya yang bernoda merah setelah menyentuh wajah Jimin. Tanpa berkata apapun lagi, Namjoon mendekati Jimin. Membalik tubuh putranya dan melihat hidung dan pipi Jimin sudah penuh dengan warna merah.

"Namjoon, kenapa Jimin ..."

"Jimin-ah ..." suara Namjoon bergetar. Ia mengguncang pelan tubuh Jimin yang ia dekap. Berkali-kali ia kecup puncak kepala Jimin. Tanpa perlu komando, Jungho menelepon rumah sakit. Hana juga membangunkan Minju agar dapat bersiaga.

ORANGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang