Republish karena mau kasih saran untuk denger lagu yang di media, sembari membaca.
Credits to annethSiapa yang bilang jika punya adik itu menyenangkan?
Ibuku. Ayahku. Mereka yang bilang jika mempunyai seorang adik akan sangat menggembirakan.
"Sebentar lagi, Taehyung akan punya adik baru. Senang tidak?"
Tentu saja aku mengangguk. Tersenyum untuk menjawab pertanyaan ibuku yang sudah terbaring menunggu waktu lahir. Meski sebenarnya aku tidak begitu bersemangat dengan kehadiran seorang adik.
Kata teman-temanku, punya adik itu tidak enak. Kehadirannya akan menjadi ancaman besar bagiku. Aku akan menjadi anak yang selalu salah. Disalahkan di setiap waktu meski bukan aku yang membuat kesalahan.
"Bukan aku yang melempar plastik berisi kotak makanan itu, Bu!" Protesku dengan nada tinggi saat ibu berkacak pinggang sambil menatap garang padaku.
"Lalu siapa yang melemparnya? Jimin? Bisakah kau bayangkan bagaimana bisa adikmu itu melempar plastik besar itu dengan tangan kecilnya?"
Aku berdecak keras. Percuma saja melawan ibu yang sudah membutakan mata dan hatinya untuk membela adikku.
Jimin bersembunyi di balik ibu. Memandangiku takut. Aku bukannya kasihan, malah makin garang tatapanku padanya. Wajah polosnya itu hanya senjata untuk menyelamatkan diri dari omelan ibu. Menyebalkan.
Sejak kelahirannya, aku selalu jadi kambing hitam. Meski sudah jelas adikku yang salah, tetap saja di mata ibu, aku yang salah.
"Seharusnya kau mencegah adikmu. Dia kan masih belum mengerti mana yang baik dan buruk."
Aku muak sekali mendengar suara ibu. Hidupku benar-benar terasa menyebalkan setelah Jimin lahir. Tidak ada lagi ruang untukku. Semua mata tertuju pada Jimin.
"Kau pulang sendiri ya. Dengan teman-temanmu. Bilang saja aku sedang ada tugas kelompok." Ujarku, mengusir Jimin yang baru saja sampai di hadapanku, di depan gerbang kampusku.
Sekolahnya dan kampusku berseberangan. Ia masih kelas dua SMA saat aku sudah memasuki semester kesekian di bangku kuliah. Meski sudah sebesar itu pun, ibu masih saja memaksaku untuk menjemput atau mengantar Jimin.
Jimin merengut saat aku menolaknya terang-terangan. Ini bukan pertama kalinya aku menyuruh Jimin pulang sendirian. Tapi, setiap aku mengusirnya, pasti selalu gagal. Entah ada gerakan alam apa yang membuatku akhirnya tetap mengantarnya pulang. Firasat tidak enakku membuat aku menyusulnya yang berjalan sendirian atau terkadang mengikuti gerombolan teman-teman yang tak terlalu ia kenal dekat. Firasatku pun sering menyelamatkannya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Terutama tidak diinginkan ibuku, yakni jika Jimin terluka.
Pernah, waktu itu aku menyuruh Jimin untuk mengikuti gerombolan temannya. Aku tidak ingin mengantarnya pulang dengan alasan aku ada pekerjaan kuliah. Padahal sebenarnya, aku akan pergi dengan teman-temanku, berkumpul di sebuah café agak jauh dari kampus. Semakin langkah Jimin menjauh, perasaanku semakin tidak enak. Aku tidak tahu mekanisme apa yang alam sedang kerjakan tapi aku malah menolak ajakan temanku dan menyusul Jimin diam-diam.
Benar saja. Sesuatu yang buruk hampir menimpanya. Salah satu dari gerombolan 'teman-teman tidak dekat dengannya' itu bercanda berlebihan, membuat beberapa temannya terdorong ke jalan raya. Jimin yang tidak sengaja berdiri sangat dekat dengan mereka juga terdorong. Bahkan terdorong paling jauh hingga hampir saja tubuhnya terbanting oleh mobil yang melaju jika saja aku tidak meningkatkan kecepatan berlari dan segera menarik tubuhnya.
Kami sama-sama terluka. Sikuku robek karena terbentur keras dengan aspal. Telapak tangan Jimin lecet, begitu pula pipinya yang bergesekan dengan aspal pula. Meski pulang dengan wajah yang babak belur karena menghantam aspal, setidaknya tidak ada dari kami yang hilang nyawa. Tapi sepertinya ibu tidak peduli akan hal itu. Yang ia pedulikan hanya Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORANGE
KurzgeschichtenBagiku, dia adalah definisi kesempurnaan. (Kumpulan cerita pendek)