Dengan pikiran yang kacau, aku mencari taksi yang bisa membawaku pergi dari tempat ini. Beberapa kali aku merasa ponselku bergetar panjang namun aku tak berniat melihat siapa yang menelponku. Sialnya belum ada satupun taksi yang lewat di depanku. Aku berpikir untuk berjalan ke halte terdekat hingga sebuah tangan mencekal lenganku.
"Tak bisakah kau bersabar sedikit saja?" Ujar pria itu yang tak lain adalah Edward. Dia menarikku. Aku hanya diam tak ingin menimpalinya.
"Aku tak mau kembali ke dalam sana" protesku saat Edward menggamit tanganku berjalan ke arah depan ballroom tadi. Namun dia tak menjawabku. Aku ingin menyentak genggamannya, namun ku urungkan saat Edward berjalan ke arah basemen tempat ia memarkir mobilnya.
Dia mengambil kunci lalu masuk ke dalam mobilnya tanpa membukakan untukku. Apa dia marah? Bahkan aku tak peduli. Yang aku inginkan sekarang adalah menjauh dari tempat ini.
"Dimana rumahmu?" Tanyanya singkat saat mobil keluar dari basemen. Lalu aku mengatakan sebuah alamat. Tak ada lagi suara di antara kami hingga mobil terhenti di traffic light.
"Kau berjanji mengajakku ke suatu tempat. Apa kau lupa?" Ujarku to the point berusaha mengalihkan benang kusut yang ada di kepalaku.
"Kau lupa kau yang ingin segera pulang?" Balasnya dengan suara dingin memojokkanku. Dan memang benar. Setelahnya aku terdiam tak berniat mendebatnya. Sebaiknya aku pulang, menata pikiranku.
***
"Kau seperti akan mencuri sesuatu" sebuah suara mengejutkanku saat aku memasuki apartemen dengan mengendap-endap. Aku menoleh ke arah suara. Sedikit kelegaan bahwa hanyalah Peter yang ada di sofa. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa bersuara.
"Papa dimana?" Tanyaku pelan mendekati Peter.
"Sudah tertidur. Sepertinya kecapekan setelah terapi tadi siang" jawabnya. Aku merasa sangat terbantu dengan adanya Peter yang menjaga papa.
"Terima kasih sudah membantuku mengurus papa" balasku dengan menyandarkan diriku pada sofa.
"It's ok. That's my job right?" Jawabnya. Benar juga. Dia membantu karena aku membayarnya. Aku hanya mengangguk paham sembari memejamkan mataku.
"Tidurlah di dalam. Aku tak akan memindahkanmu jika tertidur disini" bisik Peter yang terfokus pada film yang terputar di televisi.
"Aku terlalu lelah untuk berjalan ke kamar" balasku dengan malas. Peter berdecih.
"Kau ingin minum?" Ujar Peter membuatku membuka mataku, tertarik dengan penawarannya.
"Sounds good" jawabku membuat Peter terkekeh pelan. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu menuju pantry.
Aku memilih untuk mengambil beberapa snack yang bisa mengganjal perutku. Tau sendiri kalau aku belum makan sejak di pesta tadi. Pun dengan janji Edward yang hanya omong kosong. Tapi itu salahku juga. Merasa cukup aku kembali ke ruang tengah namun Peter tak ada.
"Kau yakin di sini?" Tanyaku pada Peter yang terduduk di bangku balkon. Dia hanya mengendikkan bahunya. Aku duduk di bangku di sampingnya.
"Sepertinya tak buruk juga di sini. Bahkan aku baru menyadari kalau pemandangan malam dari sini bagus" ujarku. Aku mengambil satu kaleng bir yang Peter bawa.
"Apa kata dokter tentang kondisi papaku?" Tanyaku.
"Progresnya cukup bagus. Jadi terapi bisa dilakukan hanya 3 kali dalam satu pekan" jelas Peter. Aku bernafas lega. Setidaknya ada hal baik yang ku dengar hari ini.
"Apa kau pernah merindukan seseorang yang ingin kau benci dan apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu dengan orang itu?" Entah pertanyaanku untuk Peter atau aku hanya ingin membagi keresahanku hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped By A Pervert
Romance[ONGOING] Anneth Andira Pramudya adalah seorang mahasiswa tingkat tiga yang tinggal bersama papanya di Sydney. Mereka pindah sejak Anneth berusia 13 tahun. Kedua orang tuanya bercerai dan Anneth lebih memilih mengikuti sang papa dan harus rela berpi...