Side Story

1K 128 0
                                    

Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghindari pria yang kini sudah berdiri bersandar di mobilnya yang terparkir di depan perusahaan dimana aku melakukan penelitian. Terhitung tiga hari aku berhasil menghindar atau sebenarnya Edward memang tak mencariku? Penampilannya tak seperti biasanya yang selalu dibalut oleh setelan rapi. Kali ini dia lebih kasual dengan kaos polo, celana jeans, topi dan kacamata hitamnya. Mungkin karena saat ini dia sering muncul diberbagai berita televisi, so, dia sedang menyamarkan diri, mungkin.

Aku ingin berjalan ke arah lain sebelum Edward menyadari adanya diriku. Namun gagal saat dia menoleh ke arahku. Dia langsung berjalan cepat ke arahku, seakan tau aku akan menghindar. Aku berusaha tenang dan biasa saja di depannya saat Edward menggapai tanganku.

"Kita perlu bicara" ujarnya. Meskipun dia mengenakan kacamata, aku merasa dia menatapku penuh harap.

"Ok. Tapi tidak disini dan aku tak mau ke penthouse mu" aku mengalah sebelum kami mencuri perhatian orang-orang yang berlalu-lalang. Ku lihat Edward mengangguk cepat dan menyunggingkan senyum tipisnya lalu berjalan ke arah mobilnya dengan menggandeng tanganku erat.

Entah kemana Edward membawaku karena selama perjalanan aku hanya berkutat melihat kesibukan orang-orang di luar sana yang memang padat karena ini jam mereka pulang kerja. Edward pun tak mencoba membuka pembicaraan di dalam mobil. Aku hanya sedang mempersiapkan diri dengan apa yang akan aku dengar nanti. Mobil Edward masuk ke dalam kawasan yang tak asing. Dan benar, kafe tempo hari yang aku datangi bersama Justin.

"Kau pernah ke sini?" Tanyanya saat dia memarkirkan mobil.

"Yup, beberapa hari lalu" jujurku. Sebenarnya aku berniat berbohong namun ku pikir tak ada gunanya juga.

"Dengan siapa?"

"Justin" jawabku enteng, lalu melepas safety-beltku dan langsung turun dari mobil meninggalkan Edward yang entah bagaimana reaksinya mendengar jawabanku.

Aku melenggang mencari meja dan sore ini cukup lengang jika dibandingkan malam saat aku datang. Aku memilih meja yang jauh dari meja-meja yang terisi. Sebagai antisipasi jika aku menangis atau berkata kasar nanti. Lucu memang. Tapi tak ada salahnya bukan mempersiapkan diri dan mengantisapasi sebelumnya bukan? Tak berselang lama Edward menarik kursi di depanku dan memanggil salah satu waiters disana. Edward menyebutkan pesanannya lalu giliranku.

"Aku pesan strawberry latte saja" ujarku membuat Edward menatapku.

"Kau tidak makan?" Tanyanya saat si waiters masih berdiri di sisi meja kami. Aku hanya menggeleng.

"Aku masih kenyang" bohongku karena terakhir aku makan tadi siang dan hanya melihat menu-menu di depanku saja membuat cacing di perutku berdemo.

"Kalau begitu untuk makannya disamakan saja" ujar Edward pada waiters membuatku sedikit kesal namun tak dapat ku pungkiri juga merasa senang.

"Makan dulu baru kita bicara" ujarnya lagi. Aku hanya memutar bola mataku kesal. Setelah si waiters pergi aku mengambil ponselku dan mengabari papa kalau aku ada urusan sebentar sebelum pulang. Tiba-tiba terlintas ide take away untuk papa dan Peter. Lantas aku beranjak dari kursi yang dibarengi pertanyaan Edward.

"Mau kemana?"

"Eh, ke toilet sebentar" bohongku.

Sesampainya di kasir aku memilih menu, untungnya Edward duduk dengan membelakangi meja kasir, jadi aku bisa memesan sekaligus membayar tanpa sepengetahuannya. Selesai memesan aku tak langsung kembali ke meja namun memilih ke toilet barang sebentar.

Saat aku kembali aku melihat makanan sudah siap di meja namun Edward terlihat sibuk berbicara dengan orang melalui ponselnya. Aku duduk, dia menatapku sebentar lalu mengakhiri panggilannya.

Trapped By A PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang