1 tahun kemudian
Tak ada yang lebih membahagiakan rasanya ketika akhirnya melihat papa perlahan bisa kembali berjalan dengan kedua kakinya. Fisioterapi yang dijalani selama ini membuahkan hasil. Masih teringat jelas bagaimana papa menangis saat melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit meskipun dengan bantuan tongkat ditangan kanannya. Namun, rasa haru terganti dengan senyum merekah diwajah papa saat seorang bocah kecil menghampirinya dan menggenggam tangan kirinya, seakan menuntunnya. Akupun tak bisa untuk tidak ikut tersenyum melihat momen itu.
Setelah mendengar beberapa penjelasan dari dokter yang menangani papa, kami memutuskan untuk pulang. Karena aku harus menggendong bocah kecil yang tertidur, aku meminta tolong perawat fisioterapi papa untuk mendampingi papa turun ke lobi. Sesampai di bawah aku langsung ke parkiran dan dengan satu tangan ku coba merogoh kunci mobil di saku. Dengan perlahan aku meletakkan bocah yang ada digendonganku ke dalam car seat-nya. Sesaat dia terganggu dengan gerakanku namun untungnya tidak sampai terbangun. Sementara itu perawat tadi membantu papa untuk naik ke mobil.
Saat diperjalan pulang, ponselku bergetar panjang. Aku melirik ke arah id caller-nya, aku memilih untuk mengabaikannya. Papa menatapku dengan senyum penuh artinya.
"Apa?" Tanyaku sembari menghindari tatapannya.
"Jawab saja" ujar papa.
"Nanti saja, Anneth lagi nyetir" jawabku singkat yang membuat papa terkekeh.
Tak berselang lama terdengar lagi ponselku bergetar. Melihat siapa yang menelpon, aku mengambil ponsel ku dan menyerahkannya pada papa.
"Iya sudah pulang, ini lagi di jalan" ujar papa
"......"
"Dia tertidur" ujar papa sembari melirik ke belakang, memastikan bocah di car seat itu masih tidur.
"......"
"Tak apa-apa. Nanti kamu bisa lihat papa jalan di rumah" kekeh papa yang membuatku ikut tersenyum.
"......"
"Ya sudah selesaikan pekerjaan kamu" lalu papa menyudahi pembicaraan mereka.
***
"Onty, Nara mau pulang" rengeknya entah sudah berapa kali. Dan sudah berapa kali juga aku menjelaskan kalau sebentar lagi mamanya akan menjemput.
"Iya sayang, mama lagi di jalan mau kesini buat jemput Nara" papa yang menjawabnya, sementara aku tengah berkutat menyiapkan makan malam. Aku sedang ingin memakan sup ayam ditambah dengan sambal terasi dan nasi hangat.
Mungkin kalian heran, sejak kapan aku mempunyai seorang keponakan. Ceritanya panjang. Dimulai dari aku melihat seseorang yang sangat mirip dengan kakakku di pesta tahun lalu, kemudian entah bagaimana aku benar-benar bertemu dengannya saat aku melamar pekerjaan di tempat Cindy bekerja yang tak lain kakakku si empunya toko bunga itu.
Tentu saja aku menyembunyikan hal itu dari papa. Hingga akhirnya, saat aku pulang ke apartemen, aku mematung saat papa tengah duduk berdampingan dengan kakakku serta seorang pria tengah memangku bocah kecil, yang tak lain keponakanku.
Aku menghindari kakakku bukan karena apa-apa, hanya saja aku malu dan takut. Malu karena aku telah memilih meninggalkan dia dan mam. Takut jika pilihanku saat itu membuat mereka marah padaku. Namun, apa aku harus terus menghindar, seperti layaknya pengecut? Tidak.
Belum sempat aku mengucap maaf, namun kata maaf itu lebih dulu terucap dari kak Diandra, yang seketika meruntuhkan beban di dadaku. Namun, saat aku menanyakan keberadaan mama, kak Diandra membisu, aku menatapnya penuh tanya saat tiba-tiba air mata itu mengalir dari perempuan di depanku. Tangannya menggenggam erat tanganku sebelum kata-kata yang terucap darinya menghantam hatiku. Aku tertawa seolah perkataannya sebuah lelucon. Aku beralih menatap papa yang sepertinya sudah mendengarnya terlebih dahulu. Tubuhku meluruh saat papa hanya menganggukkan kepalanya tanpa bisa berkata apa-apa.
Sejak saat itu, seolah hidupku telah diambil. Sepertinya ini balasan untukku karena meninggalkannya dulu. Namun, apakah ini setimpal dengan dia meninggalkan ku tanpa memberiku kesempatan bertemu dengannya? Awalnya aku marah pada kakakku karena tak pernah mengabariku. Aku marah pada papa yang tak pernah mengizinkanku kembali ke Jakarta. Dan aku marah pada diriku yang tak bisa berbuat apa-apa.
Butuh waktu bagiku untuk menerimanya. Namun, keadaan jugalah yang membuatku berpikir untuk tidak menyia-nyiakan waktuku menyesali apa yang telah terjadi atau menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi.
Lamunanku terputus saat pintu terbuka dibarengi teriakan gembira dari bocah 4 tahun itu berlari menghambur ke orang yang baru saja masuk. Seketika aku tersenyum dengan pemandangan yang aku lihat saat ini. Benar, waktulah yang mempertemukan kami, jadi aku tak ingin bersembunyi lagi.
"Kak Marcell mana?" Tanyaku saat kak Diandra mengambil minum di belakangku.
"Masih di jalan" jawabnya.
"Kenapa gak bilang, kan bisa Anneth jemput" ujarku sembari menyiapkan masakanku.
"Duh udah lama kakak gak makan sambal terasi. Enak kayaknya"
"Eh bumil gak boleh makan pedas banyak-banyak" cegahku saat tangan kak Diandra mau mencolek sambal yang aku bikin. Dia menyerah dan memilih menjauh dari pantry menuju dimana papa dan Inara berada.
Aku mendengar kak Diandra meminta papa untuk berjalan karena dia tadi tak bisa ikut ke rumah sakit. Tak lama kemudian aku mendengar tangisannya. Aku yang panik langsung berlari, ku kira kenapa, ternyata kak Diandra menangis karena melihat papa berjalan.
"Mama kenapa menangis?" Kali ini anaknya yang menarik-narik ujung dress-nya saat melihat mamanya nangis. Aku mendekati bocah kecil itu sebelum meniru mamanya.
***
Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat mendengar papa tengah mengobrol dengan seseorang dari ruang tengah. Aku mengernyit heran, karena Peter sudah berhenti sejak seminggu lalu karena suatu hal. Samar ku dengar suara yang ku kenal. Aku menggelengkan kepala, tidak mungkin kan.
Aku mengintip dari balik pintu kamarku. Aku menghela nafas kasar saat benar dugaanku. Ada perlu apa Edward ke sini malam-malam. Dengan langkah berat aku menghampiri mereka yang tengah asik entah membicarakan hal apa. Seperti tidak menyadari kehadiranku, aku memilih untuk mengambil sekaleng soda dari kulkas dan duduk di sebelah papa. Edward menatapku sesaat. Aku membalasnya penuh tanya.
"Ya udah, papa mau istirahat dulu. Kamu temenin Edward" ujar papa, aku pun membantu papa yang akan berdiri, namun Edward lebih cepat dariku.
Melihat penampilannya yang masih terbalut setelan kerjanya aku yakin kalau dia langsung ke sini dari luar kota. Aku tak yakin juga kalau pria itu bahkan sempat untuk makan malam.
"Kenapa?" Tanyanya saat aku tak memutus tatapanku padanya.
"Sudah makan?" Tanyaku. Dia tak menjawab, namun malah menarik dan memelukku. Aku membiarkannya dan memeluknya balik.
"It feels so good after long day" ujarnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya dan mengelus punggungnya.
"Masih ada sup ayam, mau? Biar aku panaskan" aku mengurai pelukan kami. Dia memegang wajahku dengan kedua tangannya dan menatapku sayu karena kelelahan. Lalu mengecup singkat bibirku, aku tersenyum. Tanganku memainkan rambutnya yang mulai memanjang.
"Don't do that, I'm tired" ujarnya.
"What?" Tanyaku dengan tatapan jail dan masih meremas-remas rambutnya. Dia menarik tanganku perlahan untuk menghentikan kejailanku.
"Aku tak keberatan jika kau menginginkannya disini, tapi jangan berisik karena papamu tertidur di kamarnya" bisiknya di telingaku membuatku langsung mendorongnya dan beranjak ke pantry untuk memanaskan sup ayam yang tadi ku buat.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped By A Pervert
Romance[ONGOING] Anneth Andira Pramudya adalah seorang mahasiswa tingkat tiga yang tinggal bersama papanya di Sydney. Mereka pindah sejak Anneth berusia 13 tahun. Kedua orang tuanya bercerai dan Anneth lebih memilih mengikuti sang papa dan harus rela berpi...