An Advice

951 127 0
                                    

"Are you ok?" Tanya Justin saat aku tengah melepas safety-belt.

"Tentu saja" bohongku.

"Kau yakin. Aku merasa kau banyak diam dan melamun saat makan tadi" ujarnya lagi. Ternyata Justin menyadarinya, karena aku memang tak menikmati makan siangku.

"Tidak. Aku hanya sedang memikirkan penelitianku. Btw thanks sudah mengantarku" ujarku dan bersiap membuka pintu berniat turun dari mobil yang terparkir di depan apartemenku. Namun perkataan Justin membuatku mematung.

"Jangan bertahan pada pria yang sekiranya menyakitimu Neth"

Aku mencerna apa yang Justin ingin katakan dengan bersembunyi dibalik perkataan itu. Aku mengurungkan untuk turun saat itu juga. Aku beralih menatapnya yang tengah menatapku.

"I'am sorry. Aku tak bermaksud ikut campur dengan hubunganmu" bukannya menjelaskan perkataannya tadi, Justin justru mengatakan sesuatu yang semakin membuatku bingung. Aku menatapnya penuh tanya.

"Well, beberapa kali aku melihatmu berkunjung ke unit milik pengusaha muda itu, McCharter right?" Ujarnya yang membuatku terkejut. Ternyata Justin pernah melihatku. Aku meraup wajahku kasar.

"Bagaimana kau tau?" Tanyaku tanpa menatapnya.

"Aku tinggal di lantai yang sama dengan kekasihmu" jawabnya membuatku mendesah kasar lalu mengangguk paham.

"Ku harap kau tidak...."

"Aku bukan tukang gosip asal kau tau" potongnya yang sepertinya paham apa yang ingin ku katakan.

"Thanks" ujarku lalu keluar dari mobil Justin. Aku menunggu hingga mobilnya menghilang dari pandanganku.

***

Aku membuka pintu apartemen dan ku dapati Papa dan Peter tengah terfokus pada papan kotak-kotak dengan banyak bidak di atasnya. Seperti tak menghiraukan kedatanganku, aku menuju ke pantry dan mengambil segelas penuh air putih lalu ku kosongkan untuk menghilangkan dahagaku. Masih tak diperhatikan, aku langsung pergi ke kamar. Mereka tak berniat mengabaikanku karena aku tau setiap mereka tengah bermain catur aku hanyalah seonggok batu yang tak bernyawa.

Aku mengunci kamar dan langsung menenggelamkan mukaku pada bantal. Dan entah kapan aku mulai merasa mataku panas dan mengeluarkan air mata. Baik pertemuanku dengan kakakku juga melihat Edward dan Angel sama-sama membuatku lemah hari ini.

Aku sadar, dari awal saat berhubungan dengan Edward akan ada resiko tersakiti oleh masa lalunya yang aku yakin tak akan mudah terlepas begitu saja. Namun, nyatanya ketertarikanku pada pria itu lebih besar ketimbang rasa takut tersakiti. Bodoh, memang. Aku menertawakan diriku sendiri yang berani-beraninya menaruh rasa suka pada pria yang belum bisa melepas masa lalunya, kesalahan yang menurutku sangatlah besar.

Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus mundur sebelum aku benar-benar jatuh sepenuhnya pada pria itu? Ya, mungkin itu pilihan terbaik. Sebelum aku tersakiti lebih dalam lagi.

Entah aku tertidur berapa lama sejak tangisku tadi hingga ku dengar ketukan pintu yang awalnya pelan lama-kelamaan berubah menjadi tak sabar. Aku terbangun dan melirik jam di nakasku. Pukul 7 malam. Pantas saja papa terdengar khawatir.

Aku beranjak dari ranjangku dan membenarkan letak rambutku yang berantakan. Ku lihat wajahku di cermin yang membuatku ragu untuk menhadap papa. Aku yakin dia akan bertambah khawatir.

"Ya pa Anneth bangun" jawabku lemas dari balik pintu tanpa membukanya.

"Kau sakit? Kau belum makan dari siang nak" ujarnya.

Trapped By A PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang