The Next Step?

2.9K 433 33
                                    

Aku masih setia bergelung di bawah selimut karena memang tak ada rencana untuk kemana-mana hari ini. Sebenarnya papa sudah membangunkanku tadi, aku terbangun, hanya saja aku malas untuk beranjak dari ranjang ini. Hampir setiap hari seperti inilah yang ku lakukan. Aku hanya akan ke kampus kalau Mr. Yuta sudah pasti berada di sana karena akan sangat membosankan jika aku harus menunggu di kampus tanpa kepastian.

Akupun belum mencari pekerjaan lainnya karena aku berniat menyelesaikan pekerjaanku pada seseorang yang telah membayarku. Namun nyatanya orang itu belum mengabariku. Seminggu, Edward belum memberikan kabar yang tandanya dia belum pulang. Lucunya aku mengkhawatirkannya. Bagaimana tidak, dia pergi dalam keadaan masih sakit. Dan beberapa hari ini moodku sangatlah buruk, terkadang aku sangat ingin mengirim pesan sekedar menanyakan keadaannya. Namun egoku mengatakan tak perlu, dia bukan siapa-siapa bagiku dan sebaliknya.

Dengan diriku yang tak banyak kegiatan seperti ini semakin membuatku memikirkan pria itu bersama ucapannya sebelum dia pergi. Terutama saat Edward menyuruhku menyelesaikan urusanku dengan Lauren. Bahkan sampai sekarang aku belum memahaminya. Aku ingin menanyakannya, namun aku terlalu gengsi untuk menghubunginya. Nanti, aku akan bertanya saat dia kembali.

Bicara tentang Lauren, kami bertemu beberapa hari lalu di sebuah kafe. Dia mengatakan ingin mengakhiri hubungan kami. Jujur saja aku tak mengerti dengan perasaanku kala Lauren mengutarakan hal itu. Tapi yang jelas aku tak merasa sakit hati dengan keputusannya itu. Aku hanya berkata mungkin itu keputusan terbaik untuk kami.

Aku merasa aneh saat Lauren meninggalkanku dengan kejelasan hubungan diantara kami. Aku sangat ingat betapa sakitnya saat Lauren mengkhianatiku, namun perasaan itu menguap entah kemana. Lebih anehnya aku merasa lega. Ada apa dengan diriku? Yang ada dipikiranku akhir-akhir ini adalah Edward.

***

"Apa lagi yang kau butuhkan" tanya Peter saat aku tengah mencari snack kesukaanku.

"Sebentar aku mencari snack kesukaanku, tunggu saja di kasir" ujarku.

Tak lama kemudian aku menemukannya dan menyusul Peter di kasir. Setelah selesai kami mencari makan. Papa sedang ingin memakan makanan Asia jadi kami berakhir di restoran Jepang yang tak jauh dari supermarket tadi. Sudah lama juga aku mengidamkan ramen. Saat makanan kami tersaji, membuat ku tersenyum lebar membayangkan rasanya.

Setelah selesai makan Peter mengajak kami ke China Town yang masih dalam satu blok dengan restoran tadi. Sudah sangat lama rasanya aku dan papa tidak jalan-jalan sore seperti ini. Dan aku tak terlalu kerepotan karena ada Peter yang ikut juga. Kami hanya berjalan di tengah ramainya pengunjung dan sesekali berhenti di stan makanan. Merasa lelah, kami pun menepi dari keramaian dan duduk sejenak di taman yang terletak di dekat dengan restoran Jepang tadi.

"Aku capek" keluhku saat mendaratkan bokongku di kursi taman.

"Padahal tadi yang ingin berjalan jauh kau sendiri" ledek Peter yang ditanggapi kekehan Papa.

"Sepertinya aku lapar lagi" ujarku yang membuat Peter berdecih.

"Bukankah tadi sudah puas dengan ramen dan kawan-kawannya?" Kali ini papa yang menimpali.

"Tapi energinya sudah Anneth pakai untuk jalan pa" rengekku seperti anak kecil.

"Nih makan saja bapau yang tadi kau beli" Peter menyodorkan bingkisan berisi bapau yang tadi menarik perhatianku karena berwarna-warni.

Aku mengambil satu buah dan ku gigit. Sudah tidak sehangat tadi tapi rasanya masih sama. Aku tengah fokus mendengar obrolan papa dan Peter saat pemandangan di pintu restoran menarik perhatianku, fokusku teralih pada seseorang yang baru saja keluar dari restoran Jepang itu. Kunyahanku berhenti saat semakin jelas siapa orang itu.

Trapped By A PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang