[BUDIDAYAKAN VOTE+COMMENT, YA. THANK YOU!]
.
.
.
.
.Dua hari setelah kejadian tersebut, Davychi masih tetap menjadi pendiam. Dia seperti orang yang mudah sedih dan khawatir entah akan apa. Hal itu berpengaruh kepada Jenessa yang ikut murung dan sedih karena sikap Davychi belakang ini. Sebenarnya, Saga sudah menceritakan usulan teman-temannya untuk mengantar Davychi ke psikologi anak.
"Sa, kita bawa aja ya? Gue takut tuh anak kenapa-kenapa." kata Saga yang ikut dilanda kegusaran belakangan ini.
Gadis itu berdecak pelan. "Yaudah, ayo!" ucap Jenessa pada akhirnya. Gadis itu langsung menghampiri Davychi yang sedang bermain dalam diam, dia berbicara selembut mungkin dengan bocah tersebut untuk ganti baju dan ikut bersama mereka. Sebenarnya, Davychi masih bisa menurut, tapi luapan emosinya yang berubah.
Selang beberapa menit, mereka akhirnya pergi ke salah satu rumah sakit yang ada di daerah Jakarta, itu juga di usulkan dan sudah membuat janji dibantuoleh Agam yang kemarin sudah berjanji jika membutuhkan psikolog, katakan saja pada dia.
Mobil terparkir di depan gedung rumah sakit yang cukup menjulang tinggi, mereka bergagas masuk dan membuat pendaftaran sebelum masuk. Tak butuh waktu, mereka langsung disuruh masuk dan konsultasi.
"Ada keluhan apa?" tanya psikolog wanita yang bertuliskan Dita di name tag nya.
"Anak saya akhir-akhir ini sering diam, terkejut saat dipanggil walaupun pakai intonasi sedang, atau menangis karena suatu hal yang kecil. Saya merasa perubahan besar yang anak saya tunjukkan akhir-akhir ini." jawab Saga menjelaskan.
Dokter Dita itu mengangguk. "Apa ada kejadian sebelum itu yang membuatnya trauma atau tidak nyaman?" tanyanya lagi.
"Satu hari yang lalu saat di Rest Area, ada Bapak-Bapak yang marah-marah dengan intonasi besar dihadapan anak saya." kata Jenessa kini menyahut.
"Baiklah. Adek, lihat bu dokter," kata Dokter Dita. "Apa kamu takut dengan suara tinggi?" katanya lagi.Bocah tersebut mengangguk pelan.
"Apa yang kamu rasain saat itu?"
"A-aku takut, Tante." jawab Davychi dengan suara paraunya, dia memanggil Dokter tersebut dengan sebutan Tante.
Beberapa pertanyaan diberikan lagi dari Dokter Dita. Selang beberapa saat akhirnya Dokter tersebut berkata.
"Memang cukup sulit menebak emosi anak saat usia 2 tahun. Tapi itu juga sangat perlu bagi manusia, terutama anak-anak agar belajar mengekspresikan emosi. Mengekspresikan emosi itu sehat. Sedih, bahagia, marah, kecewa adalah hal yang manusiawi," Dokter Dita menjeda penjelasannya sebentar sembari melirik kearah Davychi yang memainkan boneka Panda kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROOM 212 [ON GOING]
De Todo[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACAA. THANK YOU♡] FYI: CERITA INI SUDAH MEMASUKI TAHAP REVISI LEBIH BAIK Jika di tanya apa yang paling Jenessa benci di dunia ini, maka jawabannya adalah Saga. Laki-laki yang sudah menjadi rival nya semenjak masuk semest...