Sebuah Rasa

1.6K 154 6
                                    

TYPO BILANG!

_____HAPPY READING_____

Sepertinya Stevan menderita insomnia, sudah beberapa hari ini ia kesulitan tidur. Kantung matanya nampak menghitam, ia selalu begadang karena kesulitan tidur.

Hati dan pikirannya begitu gelisah, pikirannya terus berkelana jauh. Hatinya terus bertanya dan berkata-kata. Ada apa dengan rasa ini?

Stevan memandangi wajah cantik wanita berhijab di ponselnya. "Bisa-bisanya kamu bikin pikiran saya berantakan."

Perempuan dengan inisial H itu sudah bersarang di pikirannya, Stevan yang bernotabene jarang menampilkan senyumnya. Lelaki itu seperti disihir saat memikirkan wanita itu, ia kerap menyunggingkan senyumnya meski sangat tipis hampir tidak terlihat.

Dari sekian banyak mahasiswi yang mendekatinya, hanya gadis berhijab itu yang berbeda, ia selalu membuatnya naik darah dan berakhir membuat jantungnya berdetak abnormal. Stevan memikirkan sosok itu tanpa henti, entah sejak kapan Stevan menyukai tingkah dan segalanya dari gadis itu.

Ia tau perasaan ini salah, tapi mengapa tuhan menghadirkan rasa ini? Ia juga tak ingin terlibat dalam cinta yang salah ini. 

Meski dibantu oleh dua Tuhan, mereka tidak akan bisa bersama. Kecuali di antara mereka ada yang rela meninggalkan tuhannya. Ia pun tidak yakin jika perasaannya ini akan terbalaskan, kemungkinan besar perasaannya hanya akan bertepuk sebelah tangan.

"Tuhan, mengapa kau mengirim gadis itu?"

****

"Ini kenapa kamar kamu berantakan kayak gini?" tanya wanita yang telah melahirkannya sambil berkacak pinggang melihat kamar yang selalu tertata tapi terlihat berantakan.

"Gak tau, mi."

"Cepat beresin, nggak biasanya kamu kayak gini."

"Baju kotor ada di mana-mana, buku berceceran, udah kayak kamar pecah."

Lelaki itu melangkahkan kakinya keluar meninggalkan uminya yang terus mengomel.

"Mau kemana? Beresin dulu, kalo nggak mau beresin umi cariin istri yaa."

Kalimat terakhir dari uminya membuat lelaki itu berhenti melangkah. "Cari aja kalo ketemu, dia udah sama lelaki lain, mi." ucap lelaki itu lesu.

"Heh dia siapa? Kamu diam-diam pacaran di belakang umi? Apa gimana? Ngomong yang bener," omel sang Umi.

Fikri kembali melangkah meninggalkan uminya yang masih bertanya-tanya. Ia tau anaknya bukan type laki-laki yang suka mempermainkan wanita, dekat dengan wanita juga nggak kecuali dirinya, kakanya serta teman kecilnya. Hafidz ah.

Uminya dibuat bingung dengan sosok 'dia' yang disebut anaknya itu. Wanita itu juga kesal dengan Fikri yang diam-diam menyimpan rasa pada seorang gadis tanpa memberi tahunya, tapi ia sadar itu termasuk privasinya yang tak berhak diumbar sekalipun pada uminya sendiri.

Farida tersenyum geli, tanpa Fikri bercerita padanya ia sudah bisa menebak siapa gadis yang anaknya maksud. Ia bisa melihat sorot mata yang berbeda dari Fikri ketika berinteraksi dengan gadis itu.

My GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang