TYPO BILANG ❗📚
_____HAPPY READING____
Hafidzah sudah tidak berangkat ke kampus setelah kemarin ia memberikan undangan kepada teman-temannya. Di kamar yang sudah di hias selayaknya kamar pengantin, ia menatap dirinya di pantulan cermin.
Ini seperti mimpi, bagaimana bisa besok lusa ia akan di persunting Gusnya. Debaran jantungnya berdetak sangat cepat, jantungnya memompa berlebihan. Entah rasa apa yang ia rasakan ini, sejak ia di lamar oleh Fikri rasa ini semakin menjadi.
"Halo, every body." teriak Sheila menerobos masuk, diikuti oleh Nisa di belakangnya.
"Berisik, enggak tau malu banget. Di luar lagi banyak orang," gerutu Nisa menyenggol lengan Sheila.
"Enggak peduli," sahut Sheila acuh.
"Temenmu tuh, zah." tunjuk Nisa dengan dagunya, ia berjalan ke arah Hafidzah yang sudah duduk di tepi ranjang.
Hafidzah tersenyum melihat wajah Nisa yang masam. "Temen kamu juga, Nis."
"Dengerin," ucap Sheila membusungkan dadanya angkuh melirik Nisa yang cemberut.
Mungkin hari ini dan esok, hari terakhir mereka bisa full time bersama. Karena nanti, Hafidzah sudah berganti status sebagai seorang istri yang harus patuh pada suaminya. Ia sudah terikat, ia takkan bisa sebebas dulu main bersama teman-temannya, menghabiskan waktu di mall atau sekedar keliling jalanan kota.
Kedua temannya itu berjanji akan selalu ada jika Hafidzah sedang ada kesulitan, mereka akan siap membantu satu sama lain. Sungguh indahnya sebuah pertemanan ini, ia sangat bersyukur bisa di pertemukan oleh orang-orang baik di sekitarnya.
Senyum Hafidzah menipis di kala ia merasa ada sesuatu yang kurang, mungkin jika sosok Alma hadir diantara mereka pasti akan lebih seru. Ia sangat ingin Alma hadir di hari sakralnya nanti, semoga Alma menerima undangan yang ia kirim ke alamat orang tuanya.
"Zah, kok lo kayak murung gitu sih. Ceria dong, kan bentar lagi bakal melepas masa lajang." ujar Sheila menyadari raut wajah Hafidzah berubah menjadi agak kurang baik.
"Hmm, aku gak murung kok. Cuman masih linglung aja, enggak nyangka bakal nikah di umur segini." jawabnya kembali menarik sudut bibirnya.
"Udah, pak Stevan pasti baik-baik aja, Za. Lo jangan khawatir."
"Kok jadi bawa-bawa pak dosen, Shel, enggak enak tau kalo ada orang denger." tegur Nisa, memang mulut Sheila ini sangat elastis sekali sahabat.
"Sorry, soalnya gua suka banget nyebut nama tuh dosen. Namanya ganteng, kayak orangnya."
"Inget pacar!" seru Hafidzah dan Nisa serentak membuat Sheila kicep.
"Iya, iya. Gua selalu inget dia kok, diakan selalu ada di pikiran gua."
"Iya deh, yang punya pacar."
"Pokoknya kita harus happy-happy, bentar lagi kita enggak bakal bisa kek gini lagi. Kalian enggak bisa sembarangan masuk kamar aku lagi, apalagi bikin kamar aku kayak kapal pecah." Hafidzah merangkul pundak kedua sahabatnya.
"Hari ini kita harus ngehabisin waktu sama calon manten," unar Nisa.
"Gimana kalo kita nonton drakor, kapan lagi kita bisa nonton bareng. Hafidzah udah ada pawangnya," ajak Sheila mengambil laptop yang tergeletak di atas meja rias Hafidzah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gus
Teen FictionSkenario Alloh jauh lebih indah, dari pada skenario makhluk nya. -_My Gus [HARAP FOLLOW AKUN AUTHOR DULU]