🖇Kehawatiran🖇

7.3K 445 69
                                    

"Ya alloh Hafidzah Alfatunissa kamu gak papa?" tanya Alma membolak-balikkan badan Hafidzah. Gadis itu hanya dia pasrah ditangan Alma.

"Ih aku gak papa kok, tenang aja, Hafidzah kuat dan pemberani." jawab gadis itu sangat percaya diri, padahal semalam ia menangis ketakutan.

"Alah kamu, kayak aku gak tau aja ceritanya," Nissa menjeda ucapan nya. "Bukannya kamu ditemuin di lorong deket pohon sawo sama Gus Fikri, katanya waktu itu kamu lagi tangis histeris. Hahaha," lanjut Nissa menyeburkan tawanya membuat Hafidzah memutar bola matanya jengah.

Kesal. Ya satu kata itu yang bisa menggambarkan perasaan Hafidzah pada teman-teman yang menertawakannya. "Terus aja ketawain, saya ikhlas lillahi ta'ala," ucapnya lalu melengos pergi meninggalkan Alma serta Nissa yang masih tertawa.

Baru beberapa meter berjalan, kepalanya terasa pening, penglihatan gadis itu pun mulai mengabur.

Brukk!!

Tubuhnya terjatuh keatas tanah, matanya mulai tertutup rapat. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, ia melihat Alma serta Nisa berlari kearahnya.

"Zaza!" teriak Nisa saat melihat tubuh gadis itu limbung.

"Za, sadar! Kamu jangan main-main, ini nggak lucu."

Beberapa santri mulai berkerumun ingin melihat. Tiba-tiba Gus Fikri membelah kerumunan, lelaki itu menatap santriwati yang hanya menyaksikan tanpa ada niatan membantu gadis yang kehilangan kesadaran ini.

"Kalian cuman mau nonton? Gak ada yang mau bantuin?!" geram Gus Fikri.

"Gak ada yang mau bantu? Apa saya yang harus membawanya?" tanya Gus Fikri melihat tidak ada reaksi dari santriwati yang berkerumun di sana.

🍃

Bau aromatik khas minyak kayu putih menyeruak masuk ke dalam rongga hidung gadis itu. Matanya perlahan terbuka namun, penglihatanya masih kabur serta kepalanya pun masih terasa sangat pening. Hal pertama yang ia lihat saat matanya terbuka adalah Nisa dan Mbak Halimah dengan wajah khawatirnya.

"Alhamdulillah ya alloh, akhirnya kamu sadar juga zah," ucap Nisa lega dan membantu Hafidzah untuk duduk bersandar di kepala ranjang dengan nyaman.

"Aku dimana? Aku kenapa Nis?" tanya Hafidzah menghiraukan ucapan Nisa.

"Anda ada di ndalem," bukan Nisa yang menjawabnya tapi seorang lelaki yang akhir-akhir ini yang sering ia temui. Lalu ia meletakan gelas berisi air teh hangat di atas meja dekat pintu, dan berpesan. "Kata umi, teh hangatnya diminum biar agak mendingan pusingnya," lalu pergi begitu saja.

Mbak Halimah pun mengambil air teh itu, dan memberikannya pada Hafidzah untuk diminum.

Jadi kangen mama di rumah. Batin gadis itu sembari menyeruput teh hangat bikinan Bu Nyai yang kerap dipanggil umi.

Tok tok tok

Aku, Nisa dan mbak Halimah menengok ke arah pintu berbarengan. Terlihat Alma si toa masjid dan mbak Ilmi di ambang pintu. Baru saja datang, Alma menyerbu gadis itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berfaedah. Suara cemprengnya bergema di dalam ruangan kira kira 4×3 m itu.

Nisa langsung membekam mulut Alma saat melihat abdi ndalem melewati tempat mereka. "Iih Alma kamu malu-maluin aja, inget sekarang kita lagi ada di ndalem kediaman Kiyai. Jadi kalo ngomong rada di kecilin dikit VOLUMENYA," ucap Nisa dengan memberi penekanan dikata volume.

My GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang