sebelum ke cerita aku mau nanya nih, serius banget ini mah makannya wajib di jawab yaa. Pertanyaannya masih sama
Jadi gini, aku ada rencana bikin kisah tentang Alma sama Ustad Fikar. Tapi aku takut gada yang baca hiks, gimana nih kalian setuju gak kalo aku bikin kisah mereka?
TYPO BILANG ❗
_____HAPPY READING_____
Pagi ini Hafidzah sudah bersiap pergi ke kampus, biasanya ia akan mengambil kelas siang. Namun, untuk pagi ini ia terpaksa mengambil kelas pagi karena ada acara dengan keluarga Fikri.
Hafidzah sangat tidak menyangka jika dirinya akan di persunting dan menjadi istri dari Gusnya sekaligus teman kecilnya. Ada rasa bahagia dan sedih yang ia rasakan, perasaannya menjadi campur aduk. Rasa bersalah juga hinggap di dirinya ketika mengingat Stevan.
Ia belum memberi jawaban yang pasti, Stevan juga menjadi sulit di hubungi semenjak hari dimana Hafidzah di Khitbah oleh Fikri. Hafidzah semakin merasa bersalah setiap saat, ia tidak bermaksud mencampakkan Stevan. Tapi keadaan membawanya kedalam alur ini.
"Pak Stevan masih belum bisa di hubungi?" tanya Sheila pada Hafidzah.
"Belum."
"Ih Pak Stevan kemana sih, bisanya cuman bikin anak orang galau." sungut Sheila, Nisa menepuk-nepuk pundak Sheila agar duduk dan diam.
"Mungkin lagi sibuk, Za, tunggu aja." ujar Nisa mencoba berpositif tingking.
Kedua temannya belum tau jika ia sudah di khitbah Fikri, yang mereka tau hanya Stevan mengungkapkan perasaanya.
Kepala Hafidzah rasanya ingin meledak memikirkan bagaimana cara agar ia bisa bertemu dengan Stevan dan meminta maaf. Ia sudah tak bisa menahan perasaan bersalahnya lebih lama lagi.
"Udah Zah, jangan di pikirin mulu. Bawa santai aja," ujar Sheila.
"Iya, jangan terlalu dipikirin." timpal Nisa.
Hafidzah tak menghiukan ucapan kedua temannya, ia menenggelamkan wajahnya pada tangan yang dilipat di meja.
Hanya berselang beberapa menit, ponsel Hafidzah berbunyi menampilkan nama Stevan di sana. Sheila yang pertama melihat siapa yang menelpon tampak heboh sendiri.
"Hafidzah, pak Stevan nelpon. Cepet angkat!" Sheila menggoyang-goyangkan tubuh Hafidzah tak sabaran.
"Hafidzah bangun ih, lo masih idupkan." ujar Sheila karena Hafidzah tak menanggapinya.
Hafidzah mengangkat kepalanya menatap Sheila, raut wajahnya seakan mengatakan 'ada apa?'.
Sheila mendengus kesal
"Pa Stevan nelpon," ia menghadapkan ponsel pada wajah Hafidzah.Hafidzah merebut ponselnya lalu mengangkat telpon dari Stevan.
"Kenapa lama ngangkatnya?" todong Stevan daru sebrang sana.
"Pak saya tunggu di cafe yang deket komplek jam empat sore," ucap Hafidzah menghiraukan pertanyaan Stevan.
"Tap-"
Sebelum Stevan merampungkan ucapannya, Hafidzah menutup telpon secara sepihak. Ia membereskan buku-buku yang berada di atas meja, lalu bergegas pergi.
"Aku duluan ya, assalamu'alaikum." pamitnya buru-buru pergi.
"Waalaikumsalam."
....
"Jadi gimana kalo akadnya di laksanakan minggu depan, lebih cepat lebih baikkan." usul Malik, membuat Hafidzah tersedak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gus
Genç KurguSkenario Alloh jauh lebih indah, dari pada skenario makhluk nya. -_My Gus [HARAP FOLLOW AKUN AUTHOR DULU]