"Aduh, aduh, sakit!!!" pekikan nyaring nan menyakitkan telinga itu terus berkumandang ketika Alvena sibuk menjahit luka robekan pada kaki seorang remaja pria yang kini berbaring dengan gaya bebas.
"Sebentar lagi, ya... Nggak sakit kok. Cuma kayak digigit semut!" kata Alvena sambil menyelipkan senyuman di akhir kalimatnya.
"Iya, tapi semutnya semut purba!" sahut Aidnan, pasien super berisiknya kali ini. Sejak tiga puluh menit yang lalu, ia tak bisa berhenti bergerak ketika Alvena menanganinya. Dia bahkan sempat melompat dari brankar karena merasa sakit, padahal sudah dibius. Huh... Melelahkan memang.
"Aidnan, tenang sebentar ya..." Alvena mulai gelisah karena sejak tadi Aidnan terus bergerak dengan heboh.
"Sakit tau, dok!! Pelan-pelan atuh!"
"Iya, dari tadi saya pelan-pelan loh!" Alvena mulai putus asa.
"Kenapa sakit banget? Saya udah dibius belum, sih?!" lagi-lagi bocah itu protes.
"Sudah, Aidnan..."
"Kenapa—"
"Alvena," panggilan tersebut berasal dari seorang dokter cantik yang kini berjalan masuk ke dalam sana sambil tersenyum hangat.
"Dokter Inara?"
"Pasien kamu berisik banget, ya? Ada apa emang?"
"Ini, dok... Pasien terus kesakitan, padahal sudah dibius."
"Masa, sih?" Inara menatap Aidnan yang kini berbaring di atas brankar lalu tersenyum miring. "Kamu kesakitan?"
"Banget!" seru Aidnan dramatis. "Dokternya nggak becus!"
"What?!" Alvena yang merasa tak terima pun langsung memelototi Aidnan dengan emosi tingkat dewa. Untung saja dia masih sadar diri. Kalau tidak, mungkin bukan luka lagi yang ia jahit, tetapi mulut si pasien annoying-nya ini.
"Apa?! Marah?!" Aidnan makin nyolot.
Alvena menutup matanya sambil mengatur napas, kemudian ia tersenyum penuh dendam. "Aidnan... Pasien saya banyak, bukan cuma kamu. Kalau kamu memang nggak mau dirawat, ya udah silahkan cari dokter lain. Nggak usah pakai menghina saya!"
Mendengar omongan Alvena, Aidnan langsung terdiam seribu bahasa. Siang bolong yang terik ini ratusan pasien mulai berdatangan akibat kecelakaan yang terjadi di sebuah bangunan perkantoran. Entah bagaimana caranya, bocah tengik ini bisa ikut menjadi korbannya. Apalagi, sejak tadi kerjaannya hanya protes saja. Membuat bumi yang pada dasarnya sudah panas makin terasa panas melebihi oven.
"Alvena, lebih baik kamu tangani pasien lain aja. Biar saya yang menangani Aidnan..." usul Inara. "Tapi, menurut saya perkataan Aidnan ada benarnya."
"Maksud dokter?" Alvena mengernyit bingung setelah mendengar perkataan Inara.
"Maksud saya, kalau kerjaan kita sebagai dokter bagus dan profesional, pasien pasti akan nyaman dengan pelayanan kita." Inara melemparkan senyuman lagi, senyuman tanpa arti jelas yang tak dapat dimengerti oleh Alvena.
"Maaf, dok. Tapi selama ini nggak ada pasien yang protes sama kerjaan saya. Bahkan saya dipindahkan ke rumah sakit ini karena menjadi salah satu dokter terbaik dari Rumah Sakit Deindra di London. Bukan karena kerja saya nggak profesional!" ujar Alvena panjang lebar, membuat si lawan bicara tak berkutik lagi. Termasuk beberapa perawat yang tadinya ikut membantu di dalam sana.
"Kalau gitu, saya permisi..." Alvena mengatur napas agar tak terbawa emosi lagi dan langsung melengos pergi meninggalkan tempat.
Sambil berjalan meninggalkan ruangan, Alvena mengumpat di dalam hati. Dia tak habis pikir dengan Inara yang tiba-tiba menuduhnya tidak profesional dan seperti menyudutkan dirinya tanpa alasan jelas. Alvena tak tahu apa motif Inara sampai tega melakukan hal itu, padahal selama ini dia selalu bersikap baik pada Alvena.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Devil Doctor ✓
Romance"Ketika seorang ketua geng motor paling kejam dan sadis yang sering membuat para manusia menetap di rumah sakit, ternyata ia juga yang berperan sebagai penolong nyawa." Arsyaka, dokter ganteng idaman seisi rumah sakit ini memang terkenal kejam, gala...