CHAPTER 45

100K 9.3K 308
                                    

"Tinggalin Alvena kalau lo nggak mau nasib dia sama kayak Eira."

Arsya mengetuk jarinya beberapa kali di atas meja kerja. Matanya terpejam, kata-kata Vino itu masih terputar jelas di otaknya. Dan hal itu membuat otak Arsya serasa ingin pecah, dia tak mau mengingat kalimat itu lagi. Dirinya tersiksa. Setiap kali ia melihat Alvena, hatinya seolah ditusuk oleh ribuan pisau, sangat sakit.

Arsya mendengus pelan kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran bangku kerjanya sambil memandangi foto dirinya bersama Alvena yang muncul di layar ponsel. Sesekali Arsya tersenyum tipis, begitu merindukan sosok Alvena yang terus membuatnya tersenyum.

"Maaf," Arsya bergumam.

Lalu tepat saat itu juga layar ponsel Arsya berubah menjadi notifikasi panggilan masuk dari Inara. Membenarkan posisi duduk, Arsya pun mengangkat panggilan tersebut.

"Halo."

"Sya... Selesai operasi, kita jalan-jalan, yuk!"

"Sorry, gue nggak bisa."

"Kenapa? Emang kamu mau ke mana?"

"Inara, gue harus bilang berapa kali sih ke lo? Hubungan kita cuma sementara. Setelah Alvena benci sama gue, kita nggak akan bareng lagi!"

Di seberang sana Inara sempat tertegun selama beberapa saat sebelum pada akhirnya kembali berbicara, "Kenapa harus sementara? Kenapa nggak bisa selamanya?! Dan kenapa harus Alvena? Kenapa bukan aku, Arsya?! Aku udah menyembunyikan perasaan aku selama sepuluh tahun! Kenapa kamu—"

"Karena gue sayang sama Alvena!" Arsya berteriak, napasnya cepat dan tak beraturan. "Gue cinta sama dia dan nggak akan ada seorang pun yang bisa gantiin dia di hati gue! Termasuk lo!"

"Arsya..."

"Gue cuma mau Alvena benci sebenci-bencinya sama gue. Dengan begitu, gue bisa perlahan-lahan mengikhlaskan dia." Arsya menarik napas dalam, lalu kembali melanjutkan perkataannya, "Karena gue nggak mau Alvena dalam bahaya cuma karena gue. Gue nggak akan biarin itu, Ra..."

"Terus gimana sama aku? Apa kamu nggak bisa mencintai aku sekali aja? Aku juga sayang sama kamu, Arsya. Bahkan kalau pun aku harus mati demi kamu, aku rela!"

"Sayangnya gue nggak peduli. Mau lo tuker nyawa lo sama nyawa gue sekali pun, gue nggak peduli," Arsya berucap dingin lalu tanpa basa-basi lagi, ia langsung memutus sambungan telepon.

"Argh...!!!" Arsya melempar ponselnya sembarang lalu menjambak rambutnya frustrasi. Marah, benci, dan kecewa terhadap situasi.

Arsya menggebrak meja kemudian bangkit dari tempat duduknya hendak menuju pintu, namun niatnya langsung terurungkan kala melihat Fillan yang tiba-tiba masuk dan langsung menghajarnya dengan ganas.

"Berengsek!" Fillan berteriak.

Sedangkan Arsya hanya diam dan meringis sakit akibat tinjuan telak Fillan pada wajahnya.

"Lo berengsek, Arsya!" Fillan menghempas tubuh Arsya ke lantai, ia menatap lelaki itu dengan kilatan mata. "Lo nggak pantes hidup, bangsat!"

"Lo apa-apaan, sih?!" Arsya berusaha melepas tangan Fillan yang menarik kerah bajunya. Setelah berhasil, Arsya seketika mengayunkan tinjuannya sebagai balasan. "Jangan cari masalah sama gue!"

"Lo udah bikin Alvena sakit! Lo bukan manusia!" Fillan hendak menghajar lagi tetapi Arsya dengan cepat menahan pergerakan tangannya.

"Emangnya lo siapa? Lo nggak ada urusannya sama semua ini."

"Buat apa lo palsuin tunangan itu dan ujung-ujungnya ninggalin Alvena gitu aja, hah?! Manusia bajingan!" hina Fillan yang kepalang emosi.

"Gue ada alasan tersendiri, lo nggak perlu ikut campur!"

"Kalo lo ragu dan bingung sama perasaan lo sendiri ke Alvena, mending dari awal nggak usah. Nggak usah kasih harapan yang seolah-olah tulus, tapi ternyata palsu buat dia, Sya!" Fillan memandang Arsya lekat. "Jangan bikin dia bingung sama kebingungan lo!"

"Nggak usah ikut campur, ini bukan urusan lo!"

"Gimana gue nggak ikut campur? Lo udah bikin cewek setulus Alvena kecewa! Dan sekarang, lo masih bisa jalin hubungan sama Inara seenaknya tanpa beban setelah bikin hati seseorang hancur?!" Fillan mencengkeram erat kerah Arsya.

Arsya terkekeh pelan. "Nggak usah sok jadi pahlawan!"

"Gue harap, lo menderita seumur hidup lo, Sya!" teriak Fillan penuh emosi dan langsung melepaskan cengkeramannya pada kerah Arsya secara cepat dan kasar.

"Kalau lo suka sama dia, ya ambil aja! Kalau lo nggak tau, jangan sok tau! Manusia di bumi ini banyak banget ya yang tipenya mirip kayak lo! Enek gue liatnya!"

"Alvena nggak bisa sama gue!"

"Kalau lo mau, semuanya bisa! Kayak lo ngerebut Eira dari gue. Kalau lo mau, bisa kan?!" Arsya berucap dengan nada sengit, amarahnya sudah meluap dan hampir meledak.

"Asal lo tau, gue ninggalin cewek sebaik Alvena karena selingkuh sama Eira! Dan setelah Alvena tau tentang perselingkuhan itu, lo tau apa yang gue lakuin? Gue nampar Alvena sampai dia pingsan! Dan gue tinggalin dia gitu aja cuma buat Eira!"

"BANGSAT!" Arsya langsung meninju wajah Fillan dengan keras hingga pria itu terkapar di atas lantai. "Manusia bodoh kayak lo nggak pantes hidup!" Tinjuan Arsya mendarat berkali-kali di tubuh Fillan sehingga memberikan rasa sakit yang luar biasa.

Fillan terbahak kencang. "Iya, gue pernah bodoh karena udah ninggalin cewek sebaik Alvena! Jangan ngelakuin kebodohan yang sama kayak gue, Sya! Gue menyesal seumur hidup karena pernah ninggalin cewek yang gue cinta cuma demi nafsu sesaat! Gue cinta sama Alvena, karena itu gue nggak mau dia balik ke gue lagi. Kenapa? Karena gue bodoh dan jahat!" 

"Fillan, Arsya..."

Mata Arsya melotot, cukup terkejut mendengar lirihan itu. Alisnya saling bertautan, ia lalu mengalihkan sorot matanya menuju pintu, di mana ada seorang perempuan berdiri kaku di ambang pintu sambil menangis tanpa suara.

"Alvena?"

Arsya segera menghentikan aksi kejinya terhadap Fillan yang kini terbaring lemah di atas lantai. Kemudian tanpa aba-aba lagi, cowok itu langsung berjalan menuju pintu.

"Awas," suruh Arsya pada Alvena yang kini menatapnya dengan tatapan sendu.

"Arsya, aku—"

"Gue bilang awas! Jangan ngalangin pintu!"

Mata Alvena terasa perih, sikap Arsya membuat hatinya seolah hancur lebur. Dingin dan tak tersentuh. Jika waktu bisa diulang, mungkin Alvena akan memilih untuk tidak jatuh hati pada Arsya yang ternyata memang tak akan bisa digapai. Ternyata selama ini Alvena telah membuang waktunya untuk mencintai seorang lelaki semacam Arsya. Lima bulan ini hanyalah pengorbanan sia-sia yang mampu membuat Alvena sedikit bahagia meski akhirnya harus kembali terluka.

Akhirnya, Alvena pun menurut lalu menggeser tubuh ke kanan untuk memberi jalan bagi Arsya. Melirik pada Fillan, Alvena mengusap air matanya sekilas dan berlari menghampiri Fillan.

"Fillan, are you okay?"

"I'm okay," sahut Fillan. Suaranya semakin terdengar berat dan diselingi rasa kesakitan.

 
Tbc.

My Devil Doctor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang