Hari-hari telah berlalu. Dua hari berlalu sejak kejadian Alvena diculik dan disandera oleh Vino dan teman-temannya hingga membuat kondisi Alvena sempat memburuk. Pagi ini, tepatnya pukul tujuh pagi, Alvena berjalan memasuki lobby rumah sakit. Lengkap dengan jubah putih yang melekat di badannya, ia menggendong sebuah tas kecil berwarna navy yang tersampir di bahu kanan.
"Pagi," Alvena membalas sapaan-sapaan hangat dari para pasiennya juga dokter dan perawat lain. Senyuman cantik Alvena yang selalu terukir manis sejak ia memasuki kawasan rumah sakit, kini langsung sirna dalam waktu tak sampai satu detik.
Matanya menatap lurus pada seorang perempuan berjubah putih seperti dirinya, dengan heels tinggi menjulang dan lambaian tangan sebagai sapaan untuk Alvena. Tapi sayangnya, Alvena tak berniat membalas sapaan dan lambaian tangan itu. Barang melemparkan senyuman pun Alvena tak ingin.
"Hai, Na!" Inara berjalan semakin dekat dan berhenti di depan Alvena. "Udah sembuh? Saya denger kemaren kamu sakit."
"Udah membaik. Makasih," sahut Alvena tak niat.
Senyuman Inara makin merekah. "Arsya pasti kangen banget sama kamu. Tapi sekarang dia ada di ruangan saya, sih... Tadi nemenin saya bungkus kado ulang tahun buat Sela."
Alvena yang mendengarkan kalimat Inara hanya bisa diam, diamnya Alvena bukan karena bingung harus membalas apa, melainkan dia sudah muak dengan sikap sok manis Inara. Padahal tujuan utamanya adalah untuk membuat Alvena cemburu. Kejadian dua hari lalu juga sudah membuat Alvena cukup mengerti seperti apa cara untuk melawan Inara.
Alvena tahu, Inara pasti sengaja menelepon dirinya dan berpura-pura minta tolong agar Alvena menyusul dan bertemu dengan Vino. Entah apa hubungan Inara dan Vino, tetapi Alvena yakin keduanya pasti saling mengenal atau mungkin berkerjasama untuk mencelakakan Alvena. Itulah yang dapat Alvena simpulkan saat ini.
Menghela napas pelan, Alvena maju satu langkah untuk mendekati Inara. Dia tersenyum penuh makna kemudian berucap pelan, "Rencana dokter berhasil, loh!"
Inara tersentak, tetapi senyuman palsunya itu belum juga menghilang. "Maksud kamu, rencana apa? Sa-saya nggak ngerti."
Alvena tertawa kecil, lalu mengusap lengan Inara sambil terus menatap mata lawan bicaranya lekat. "Dokter nggak bodoh, kan? Atau rencana dokter kurang pinter?"
Inara memucat, dia terdiam seribu bahasa akibat perkataan sarkas Alvena yang begitu menohok.
Suara tawa Alvena semakin menggelegar karena wajah kaget Inara. "Saya tau, dokter sengaja nelepon saya waktu itu biar saya ketemu Vino dan diculik. Terus dokter ke mana? Ngilang gitu aja? Nggak mungkin kan?"
"Alvena, kamu salah paham. Saya beneran ketemu orang jahat waktu itu, tapi mungkin kamu datengnya telat. Jadi saya udah bisa lawan sendiri. Dan—"
"Dokter pikir saya percaya?" Alvena menyeringai. "Maaf, saya nggak bodoh."
"Alve—"
"Hai, Arsya!" Alvena memotong ucapan Inara dengan cara menyapa seorang lelaki yang kini berjalan menghampiri mereka. "Maaf ya, dok. Kita ngobrolnya nanti aja. Bye!"
Sebelum pergi meninggalkan Inara, Alvena sengaja mengedipkan sebelah matanya seraya tersenyum lebar untuk membuat wanita itu semakin terpojok. Kemudian ia langsung berjalan mendekat pada Arsya dan menggandeng tangan cowok itu seraya berjalan menuju lift.
* * *
Arsya dan Alvena tiba di taman belakang rumah sakit untuk sekadar jalan-jalan santai dan menikmati udara sejuk pagi ini. Kebetulan hari ini belum banyak pasien yang harus ditangani.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Devil Doctor ✓
Romansa"Ketika seorang ketua geng motor paling kejam dan sadis yang sering membuat para manusia menetap di rumah sakit, ternyata ia juga yang berperan sebagai penolong nyawa." Arsyaka, dokter ganteng idaman seisi rumah sakit ini memang terkenal kejam, gala...