Bab 2, Falling in Love at The First Sight

168 30 2
                                    

"NGGAK ada jawaban yang lebih absurd lagi?" ucap RJ saat sedaknya sudah reda.

"Gue serius, R." Wajah Bond memang menunjukkan itu. Membuat RJ sedikit gamang, mulai berpikir ini bukan prank.

"Ah, tipu." Dia mengibas gemulai tangannya. "Lu aja tadi nggak ngenalin gue."

"Kita nggak tau takdir kita ke mana. Tadi pagi gue ke sini cuma niat kasih berkas akuisisi ke bokap lu. Taunya sekarang gue ngelamar anaknya."

"Hah? Akuisisi? Apa lagi itu?"

Bond menunjukkan video dari portal berita yang sepertinya sekarang sudah melengkapi beritanya. Wajah RJ jelas terbaca tak mengerti. Bukan tak mengerti isi video tapi tak mengerti kenapa video itu bisa ada.

"Intinya, bokap lu bangkrut. Mungkin itu alasan kenapa kartu kredit lu tadi ditolak. Tapi gue nggak nyangka bank segercep itu. Bodat beneran tu bank."

"Hah?" RJ semakin kacau. Info yang dia terima berupa kepingan yang semakin utuh tapi masih dalam kondisi terburai. "Gue nggak pernah ngurusin bisnis bokap. Gue taunya pakai uangnya aja."

Bond mencebik. Dia mengambil kartu yang tadi dia selipkan di kantung dalam jasnya, lalu dengan penuh kasih menyerahkan kartu itu pada RJ yang diterima RJ spontan. Hanya spontanitas biasa. Tapi Bond tersenyum melihatnya.

"Meski bokap lu bangkrut, sebagai istri gue, lu tetap bisa belanja. Bebas. Itu kartu kredit gue. Unlimited. Lu bebas pakai."

"Istriii...???" Kartu itu masih di tangannya tapi pegangannya goyah.

"Anggap saja sudah jadi istri. Karena gue selalu dapat apa yang gue mau." Kali ini auranya mengintimidasi. Tak ada kelembutan seperti tadi ketika dia menyerahkan kartu kredit. Ucapan itu membuat tangan yang tadi goyah akhirnya menjatuhkan kartu kredit ke meja.

RJ yang sedang me-refresh isi kepalanya, memasang wajah bodoh-yang tetap terlihat cantik di mata Bond-dan berusaha agar proses loading segera selesai.

Gue memang nggak kenal dia, tapi gue tau nama Bondowoso. Kalau gue macam-macam, dia bisa nekat. Apalagi jelas dia ngaku baru ngambil perusahaan bokap.

Itu isi kepalanya setelah selesai di-refresh. Mungkin dia perlu me-reboot. Tapi sekarang belum bisa. Dia harus tetap bisa memakai otaknya meski sekarang agak lemah setelah di-install program berat.

"Umm... kali ini sepertinya keinginan lu nggak bisa lu dapat deh. Nggak usah terlalu kecewa, selalu ada yang pertama untuk segala hal kan?" ucapnya sambil menggeser kartu kredit ke depan Bond. Dia berusaha sesopan mungkin meski jantungnya berderap.

"I need a reason. So I can fix this mess soon." Hanya melirik sekilas, Bond membiarkan kartu itu tetap di meja di depannya.

"I have a fiancée." Suara RJ sangat anggun, yakin jawabannya bisa mematahkan semangat juang lelaki nekat ini. Dia memajukan tangan kanannya untuk memperlihatkan pada Bond bahwa di jari manisnya sudah melingkar sebuah cincin cantik.

"Oh, cuma itu." Dia berdecak. "Suami aja bisa gue urus kok, apalagi tunangan doang." Bond membuat duduknya lebih santai lagi.

Tak sadar, RJ melongo. Proses loading mungkin belum sempurna selesai.

"Keep the card. Pakai untuk belanja kebutuhan pernikahan kita." Dia berdiri. "Gue pergi dulu, ada yang harus gue kerjain secepatnya. Bye, My Lady." Bond berbalik, tapi sebelum pergi dia sempat mengecup punggung tangan RJ. Ringan, seringan bulu.

RJ terperangah maksimal.

***

Bond bukan tipe orang yang sabar. Begitu kakinya melewati batas kedai kopi, tangannya menjentik, dan dalam hitungan detik mendadak formasi pengawalan terbentuk. Jentikan kedua seorang dari mereka mendekat dan nyaris menempelkan telinga ke bibir Bond.

"Incognito guard untuk RJ. Siapa tunangannya." Sesingkat itu.

Sesingkat itu lalu dia kembali ke formasi semula. Dengan kode tangan singkat dan beberapa kata, tak lama, beberapa orang dari mereka sudah memisahkan diri dan tanpa ada orang lain tahu sudah berada di sekitar RJ.

Ketika mobil sudah meluncur mulus, ponselnya berdenting lembut. Sebuah pesan masuk.

Radovan Brojodento.

Dia langsung mengerti. Tak lama berderet link masuk tentang nama itu. Dia masih menunggu kesimpulan link-link itu. Sampai akhirnya yang dia tunggu masuk. Membaca santai, mengukur kemampuan lawan. Senyum miringnya tercetak lagi.

Piece of cake.

Segera dia menghubungi pengirim pesan.

"Appointment. ASAP."

"86."

Considers its done, Sir.

Seorang Bondowoso tidak pernah berpanjang kata untuk menjelaskan maunya. Dia hanya menyebutkan inti kalimat saja pada stafnya.

***

Di tempat yang berbeda, lelaki yang menjadi target terbaru Bond juga telah mengetahui kabar akuisisi Boko Holding Co.. Sebuah holding yang seharusnya jadi miliknya. Dengan sebuah pernikahan, holding sebesar itu jadi miliknya.

Tunangannya adalah anak tunggal. Putri tunggal yang semakin besar semakin jelas tidak tertarik pada urusan bisnis. Tidak ada yang bisa diharapkan Prabu Boko dari RJ untuk meneruskan trah bisnisnya kecuali pada calon menantunya. Rad memang pria mumpuni. Dia menjalankan bisnisnya sendiri selain bisnis orangtuanya. Meski dia mewarisi bisnis orangtuanya, tapi dia bukan pewaris tunggal. Ada saudaranya yang lain yang harus berbagi warisan. Karena itulah dia memiliki bisnis sendiri. Yang jika ditambah dengan bisnis Prabu Bojo, maka namanya serta merta ada di jajaran pebisnis dunia. Di list teratas Forbes.

Belum ada kabar apa pun yang dia terima langsung dari calon mertuanya atau dari tunangannya.

***

Sementara itu, Bond sudah memasuki wilayah United States of Penging. Petugas imigrasi hanya melirik sekilas ke dalam mobil, memastikan hanya Bond dan pengemudi di dalamnya. Bond sudah terlalu sering melewati batas dua negara. Sesekali pemeriksaan menyeluruh, tidak pernah sekali pun ada masalah. Bond tidak pernah berurusan dengan hukum, patuh peraturan, dan pembayar pajak yang taat. Apalagi dua negara ini memang menerapkan kebijakan bebas visa. Meski sekat demokrasi, demografis, dan geografis membatasi kerajaan-kerajaan itu, tapi kedekatan budaya membuat negara itu akrab.

Dia sudah memiliki kontak RJ. Tangannya gatal ingin menyapa. Tapi hatinya berkata tidak, jangan dulu. Biar bagaimana pun, hari ini RJ menerima dua berita yang sangat bertolak belakang dan keduanya berurusan dengan orang yang sama. Bond. Saat itulah ponselnya berdenting. Dari PA-nya.

Besok, after lunch.

Artinya besok dia harus melintas perbatasan lagi. Piece of cake, tak ada yang harus dia persiapkan sekarang. Sesampainya di rumah, dia langsung ke kamar, dan merebahkan dirinya.

Merindukan RJ.

Kenapa bisa gadis secantik itu luput dari kamera pengawasnya? Padahal dia anak Prabu Boko. Di mana selama ini Boko menyembunyikan hartanya ini?

Senyum miringnya kembali hadir.

Prabu Boko, setelah perusahaanmu aku ambil, besok anak gadismu yang aku ambil. Apalagi yang kau punya, Pak Tua?

Dia terus memikirkan RJ. Mengirim sinyal-sinyal perasaan melalui frekuensi cinta ke gadis itu. Menanamkan dalam mindset-nya akan kepemilikannya pada RJ. Itulah yang Bond selalu lakukan. Yang dia yakini adalah dia yang harus bisa meyakinkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum berusaha meyakinkan orang lain.

Dengan cara itu, alam bersinergi mewujudkan maunya.

***

Bersambung

Manusia Bodoh [16+ End]Where stories live. Discover now