Bab 16, Bencana

53 20 0
                                    

MENGGELIAT malas, RJ tak segera sadar di mana dia berada. Tapi taburan kacang kenari membuatnya sadar diri. Tangannya merasai sisi ranjang yang kosong, mencari Koko dan Kiki. Kosong. Masih menggeliat malas, dia bergerak duduk. Langit memang sudah gelap, tapi lampu yang menyala dengan pencahayaan yang tepat membuat dia masih bisa menikmati pemandangan di luar.

Badannya sedikit tersentak ketika melihat ada yang duduk bersandar di lantai kaca lurus menatapnya. Posisi lantai itu tidak jauh dari lantai solid. Tapi dari posisi itu, keseluruhan isi kamar terlihat jelas.

Melihat RJ sudah bangun, Bond menggerakkan lantai mendekat ke kamar. RJ diam saja melihat lantai mendekat, tetap diam ketika Bond meluruskan kakinya ke lantai solid sementara dia tetap duduk santai di lantai kaca menatap RJ.

"Akhirnya gue tahu kenapa dulu gue bikin lantai ini bisa menekuk ke dua sisi walau dulu gue nggak merasa berguna."

RJ bisa melihat senyum di wajah Bond.

"Kenapa gue merasa jadi Jaka Tarub ya? Mana dah selendang lu?"

RJ yang bangun tidur duduk dengan tungkai menyamping dan rambut panjang tergerai. Bond sungguh merasa melihat dewi.

Perlahan dia bergerak menginjak lantai solid, lalu duduk miring di sisi ranjang. Temaram lampu membuat pandangannya yang menusuk lembut terasa syahdu.

"Feel better?" tanyanya sambil tersenyum. Tapi pertanyaan itu justru meruntuhkan RJ. Bond bertanya keadaannya tanpa bertanya alasan dia ada di sini. Satu dua isakan terdengar, lalu RJ sudah melabuhkan dirinya ke pelukan Bond. Memangis di sana.

Terkejut, antara bahagia dan sedih, Bond diam membiarkan RJ melepas emosi di dadanya. Tangannya lembut membelai rambut RJ, menenangkannya. Sampai isaknya mereda tapi RJ masih tenggelam di dadanya.

Ketika RJ masih diam, dia bersuara. "Lu bisa cerita kapan pun lu mau. Atau lu mau begini aja, nggak apa-apa juga."

Dan Bond kembali menemani RJ mengurai sedih. Sampai RJ melepas sendiri pelukannya, Bond masih diam. Menunggu.

"Gue takut banget, Bond..." Akhirnya RJ bersuara.

"Kenapa?" Sangat lembut, nyaris berbisik.

"Rad—"

Bond terus menunggu. Dia serius mendengar sepanjang RJ tertatih tersendat bercerita. Wajah pucat RJ semakin memperjelas ketakutan gadis itu.

"Dan gue semakin nggak tenang pas dia bilang pencuri harus dihukum." Akhirnya RJ nyaris sampai di ujung cerita. "Entah kenapa, kok gue mikir lu ya?" Dia mengeluarkan ponselnya, mengetuk layar membuka sebuah chat, lalu menyerahkan pada Bond. Menyuruh Bond membaca isi pesan itu.

"Ini chat kemarin," ujar Bond.

"Dia tahu kemarin gue ke sini."

Bond tersenyum.

"Dia pasti tau, R. Gampang banget ngelacak lu. Meski sinyal ponsel lu nggak terdeteksi di sini, dia pasti bisa tahu dengan cara lain."

"Tadi gue ke sini pakai taksi online. Dia tau juga nggak?"

"Nggak penting sekarang dia tau apa nggak. Yang penting sekarang gue mau tau rencana dia apa? Terutama ke lu. Kenapa sampai dia ngasih lihat lu adegan sadis gitu. Dia mau ancam lu? Kenapa? Toh kalian sebentar lagi nikah."

"Dia nggak akan ngapa-ngapain gue, Bond. Dia ngincar lu."

"Lu nggak perlu khawatir tentang gue. Gue akan baik-baik aja. Rad nggak masuk kriteria harus diwaspadai."

"Jangan sombong banget deh lu, Bond. Sesumbar sekarang, sekarat kemudian," ucap RJ sinis mengingatkan.

"Iya sih. Gue terlalu sengak. Makasih sudah mengingatkan ya."

"Oke. Sama-sama."

"Gue malah khawatir sama lu. Mungkin dia nggak akan ngapa-ngapin lu secara fisik. Tapi apa dia bisa jaga hati lu?"

"Kalau kaya gini gue sudah nggak mikir hati. Mungkin sudah mati hati." Suara RJ melemah, menatap kosong ke depan.

"Gue tetap cari jalan menggagalkan pernikahan kalian, R. Apalagi setelah kejadian ini." Bond menggigiti buku jari ibu jarinya yang terkepal.

"Apa masih mungkin?"

"Tadinya gue pikir dia serius suka sama lu. Tapi kalau dia gituin lu, gue ragu. Sadis banget cara dia nakutin lu."

"Entah karena gue flat sama dia, kok gue ngerasa dia juga nggak ada rasa sama gue ya? Tadinya gue pikir dia cuma ngincar holding bokap, tapi kenapa dia sudah dapat dari lu tapi dia malah kasih ke bokap biar bisa cepat nikahin gue. Kalau cuma holding itu yang dia mau, ya sudah dapat dari lu, mending lepas gue aja."

"Kenapa lu mikir dia ngincar harta? Secara kasat mata dia sukses tuh."

"Perusahaan dia sudah lama limbung."

"Lu tau soal itu?" tanya Bond yang dijawab anggukan. "Tau dari mana? Memang ngerti urusan bisnis?" tanya Bond lagi.

"Lu sendiri tau nggak?"

"Gue tau. Makanya gue nggak heran ketika dia bikin klausa menang atau kalah, aset yang gue siapin jadi milik dia. Dia memang butuh dana segar. Lu kata dapet proyek Burj de Pramban maharnya kecil apa?"

"Rencana dia apa, Bond?"

"Lu tenang aja. Nanti gue yang urus. Baik atau buruk semua akan kembali ke pelakunya. Kalau rencana dia jahat, rencana itu akan balik ke dia."

"Apa dia sengaja mau nyakitin lu?"

Bond tertawa getir. "Kalau benar begitu, dia sudah berhasil."

Diam.

Menyelami alam pikiran masing-masing untuk mengikuti arus isi kepala yang lain. Kesunyian yang semakin syahdu, hanya mata yang bersuara. Membisikkan kata cinta yang semakin terasa.

Sampai suara dari ponsel Bond mengganggu keheningan itu.

"Boss, lu sama RJ ya?" PA bertanya tanpa basa-basi.

"Kenapa?" Siaga satu.

"Gue ngomong bentar dong."

"Nggak ke gue dulu?"

"Lu yang kasih beritanya ke dia ya?"

"Oke."

"YRJ kegulung banjir bandang. Habis semua. Gue belum dapat info soal korban."

"Itu apaan?"

"Ck. Makanya gue tadi mau ngomong langsung ke dia. Yayasan Roro Jonggrang."

"Oh.My.God." Mendesis.

"Nah, lu kasih tau deh orangnya."

"Lu aja deh." Bond menghindari tugas berat. Setelah tadi RJ shock berat dengan perlakuan Rad, sekarang harus mendengar musibah. Apa tidak bisa musibahnya ditunda lusa?

"Ck." Sambungan terputus. Tak ada pilihan lain. Bond yang harus menyampaikan berita buruk ini.

Panik. Dan menangis. Itu respons RJ.

"Gue harus ke sana, Bond."

"Apa bisa ditembus?"

"Coba dulu."

Bond langsung mengangguk dan mereka sigap bergerak. Bond menyuruh staf rumah tangganya mengisi mobil dengan bahan makanan yang ada di rumah termasuk bahan sandang. Tak banyak pengawal yang mendampingi. Hanya dua orang. Yang lain dia perintahkan bersiaga. Jika sampai besok tidak ada kabar, baru mereka menyusul. Semua dikerjakan tergesa, tapi tetap saja, semua siap menjelang tengah malam.

Prambakarta dan New Penging adalah dua ibukota yang berdekatan dengan perbatasan. Jika rumah Bond berada di pinggir New Penging yang berdekatan dengan lintas batas negara, maka YRJ berada jauh dari Prambakarta. Butuh waktu lima jam untuk sampai ke kota itu, dan satu jam lagi mendekati TKP. Saat mereka tiba, semua bisa terlihat jelas berkat keberadaan matahari. Awal tahun, meski hujan sering turun tapi matahari lebih cepat muncul.

Matahari yang mereka butuhkan untuk melihat akibat kemarahan alam.

***

Bersambung

Manusia Bodoh [16+ End]Where stories live. Discover now