SEORANG pelayan sedang menyisir rambutnya ketika ponselnya bergetar. Abai, RJ terus saja mematut diri di cermin. Malam belum terlalu larut. Malah bisa disebut masih sore untuk manusia nokturnal. Tapi, RJ sudah ingin bergelung di ranjang. Sepulang dari Kahuripan DC banyak yang harus dia kerjakan, terutama laporan kegiatan. Membuatnya belum bisa beristirahat maksimal. Terlihat dari lingkaran hitam di mata. Tak terlalu jelas, tapi terlihat. Dan dia memang kurang tidur sejak beberapa har ini.
Ponselnya kembali bergetar. Malas, dia akhirnya meraih ponsel itu.
B. Bondowoso : Lagi ngapain?
B. Bondowoso : R...
Tersenyum, dia masih berpikir harus menjawab apa. Pameran memang membuat Bond lebih intens menghubunginya.
B. Bondowoso : Tadi dicuekin, sekarang dibaca aja.
B. Bondowoso : For your information ya, lu tuh nggak sedang baca koran loh.
RJ tertawa kecil.
RJ : Sabar sih. Lagi mikir mau jawab apa
B. Bondowoso : loh, aneh amat?
B. Bondowoso : Ya lu lagi ngapain?
RJ : Baca chat dan reply.
B. Bondowoso : Basi
RJ terkekeh
RJ : lagi persiapan mau tidur.
B. Bondowoso : Cewek ribet ya. Mau tidur aja persiapan. Gimana mau keluar.
RJ : Iya. Dan cewek ribet ini sekarang mau tidur.
B. Bondowoso : Oke. Nite, RJ. Nice dream.
Tapi percakapan singkat itu membuat RJ mengingat Bond. Dua minggu acara, membuat mereka sering bertemu dan berbincang. Bond sering membantu pekerjaannya. Pun tidak ada yang dia kerjakan, Bond nyaris selalu ada menemaninya. Dia pun jujur mengatakan bahwa dia mengubah jadwalnya selama pameran agar bisa tetap di sana dan bersama RJ. Meski mengaku seperti itu, tapi sikap Bond biasa saja. Cenderung memosisikan dirinya sebagai teman. Hanya sesekali dia mengutakan isi hatinya. Itu pun hanya berupa celetukan-celetukan khas Bond seperti biasa sejak mereka pertama bertemu.
Satu kata untuk Bond: jujur.
Merasa sudah cukup, tangannya melambai menyudahi ritual menyisir rambut. Pelayannya mundur selangkah, menekuk kakinya sebagai penghormatan lalu undur diri keluar kamar. Tugasnya sudah selesai hari ini. Ada pelayan lain yang harus stand by untuk keperluan apa pun di malam hari.
Sendiri saja di kamar, bayangan Bond semakin jelas mengisi kepala RJ. Dua minggu bersama Bond, dan bagaimana Bond berlaku sebagai teman, membuat RJ merasa nyaman berbincang dan berdiskusi.
Lalu ada yang mengusik hatinya. Dia teringat satu hal.
Dia belum pernah bertemu Rad sejak pulang. Bahkan Rad baru satu kali menanyakan kabar. Ketika dia baru sampai di Prambakarta—ibukota Republik Prambanan—sepulang dari pameran. Dan dua minggu di sana, mereka hanya sesekali berkirim pesan. Membuat sosok itu nyaris terlupakan.
Ada rasa lain yang menyusup di ceruk hatinya. Sebenarnya, rasa apa yang dia berikan untuk Rad? Tunangannya bersikap seperti itu dan dia santai saja. Apa yang seharusnya dia rasa? Apa yang seharusnya Rad lakukan ketika tunangannya berada jauh dari negaranya? Apa dia berharap Rad sering menghubunginya? Atau malah mengunjunginya? Sekadar berkirim pesan mungkin? Kalau itu yang dia harap, ketika harapannya tidak terjadi, apa yang harus dia rasa? Seharusnya dia marah atau seharusnya dia lebih berinisiatif menghubungi Rad terlebih dahulu?
Dia mengambil ponsel, tapi ketika phonebook terbuka, hatinya malah meragu. Bukannya nomor Rad yang dia hubungi, malah nama Bond yang terketuk. Dan nyaris tanpa jeda, tanpa nada sambung, panggilannya tersambung.
"Ya, R?"
"Belum tidur?"
Bond terkekeh. "Yang mau tidur itu kan sampeyan, Diajeng RJ. Hamba mah masih nguli di kantor." Tangannya lincah menekan tombol ctrl dan S secara bersamaan.
RJ terkekeh sambil memelintir rambutnya.
"Apa apa? Persiapan tidur nggak batal nih kalau nggak jadi tidur?" Santai, Bond menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sampai sandaran itu nyaris rebah.
RJ lagi-lagi terkekeh. Dia sudah duduk bersandar di kepala ranjang dengan sebelah kaki terjulur
"Kok masih di kantor?"
"Ya karena masih ada yang dikerjain."
"Pulang jam berapa?"
"Kalau lu mau gue ke sana, sekarang juga bisa." Bond sungguh-sungguh dengan ucapannya. Bahasa tubuhnya membuktikan itu. Mendadak dia merapikan duduknya. Dari duduk santai menjadi duduk tegak siap berdiri.
RJ terbahak.
Sebenarnya, gaya merayu Bond dan Rad sama, tapi sekaligus berbeda juga. Bond bergitu santai. Ucapan-ucapannya mengalir begitu saja. Bond jarang memuji, atau malah tak pernah? Bond hanya fokus mengucapkan maunya. Rad? Setiap kata adalah bunga-bunga di taman dan bordir berhias manik-manik di gaun pesta.
"R?"
"Eh..." tergagap. Ternyata dia melamun. "Nggak apa-apa. Ya sudah ya. Lanjut kerja lagi deh."
"Eh, tadi nelepon ada apa?" Alis Bond sampai berkerut.
"Nggak. Nggak ada apa-apa. Iseng aja." Tergagap, hanya itu jawaban yang RJ punya.
Jawaban spontan yang membuat tubuh Bond sedikit tersentak menegang.
"Gue sih lagi kerja, tapi kalau lu mau dikerjain, gue siap banget."
RJ tertawa kecil.
"Bye, Bond."
"Bye, R."
Lepas sambungan terputus, Bond menatap ponselnya seperti Mr. Flinstone melihat smartphone pertama kali. Atau seperti Xi si orang Sho di God Must Be Crazy ketika melihat botol Coca Cola pertama kali. Setelah beberapa lama menjadi manusia norak, perlahan senyum bodoh tercetak di bibirnya. Masih tetap bodoh. Tapi tetap terlihat tampan.
Sementara itu, di seberang batas negeri, ketika Bond memasang senyum bodoh, RJ semacam merutuki kebodohannya. Kenapa dia begitu impulsif mendadak menelepon Bond tanpa jelas maksud dan tujuannya apa? Di saat dia seharusnya menghubungi Rad dia malah menelepon Bond. Menelepon! Bukan sekadar mengirim pesan.
Matanya yang tadi mengantuk, tubuhnya yang tadi lelah, mendadak semua hilang. Dia berdiri dari ranjangnya lalu berjalan ke jendela besar. Tak puas, dia berjalan ke balkon. Angin malam menerpa tubuh mulusnya. Membuatnya bergidik kedinginan. Dan dua wajah yang berkelebat di kepalanya membuatnya lebih bergidik lagi. Kejujuran Bond akan perasaannya ternyata mengganggunya. Bond bukan yang pertama mendekatinya, tapi kenapa baru kali ini ada yang mengganggu pikirannya.
Bond sibuk, Rad pun sibuk. Bond tadi siap jika dia membutuhkannya. Rad pun selalu begitu. RJ selalu menjadi prioritas Rad. Tapi apa tidak bisa Rad lebih sering menghubunginya di sela-sela kesibukannya? Dia bisa selalu siap, seharusnya lebih mudah mengirim pesan daripada harus stand by kan?
RJ menegaskan dirinya untuk menghubungi Rad besok. Malam ini biar dia habiskan untuk berpikir lebih dalam lagi. Termasuk berpikir apa yang harus dia katakan pada Rad.
***
Bersambung
YOU ARE READING
Manusia Bodoh [16+ End]
RomanceTell me then, does love make me a fool or do only fools fall in love? -Orhan Pamuk- *** APA jadinya jika kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso ditarik ke era milenial? Bond--Bandung Bondowoso--baru saja mengakuisisi holding milik Prabu Boko sa...