HARI menjelang malam ketika RJ sampai. Dia langsung membanting menelungkup di ranjang. Matanya terpejam membayangkan masih berada di rumah Bond. Mendadak kamar dan mansion-nya terasa biasa saja dibanding rumah Bond yang kecil, alami, dan sederhana, tapi sangat computerized. Perpaduan alam dan kemajuan teknologi.
Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamarnya. Kamar putri yang menjadi impian banyak gadis. Langit bumi dengan kesederhanaan kamar Bond. Apalagi rumahnya. Dia benar-benar tidak menyangka rumah Bond sesederhana itu. Tapi kenapa rumah itu terasa beda?
Pohon?
Di rumah ini pun banyak pohon. Pohon yang terawat sangay baik. Taman bunga pun ada. Mungkin karena taman di rumahnya tidak ada penghuninya? RJ langsung berpikir akan melepas sepasang tupai, musang, dan binatang berbulu yang lucu dan jinak. Tapi apa bisa seperti Koko? Yang bebas bermain di tubuh tuannya.
Atau, tuan Koko yang membuat rumah itu beda?
Ponselnya berbunyi. Dia masih asyik dengan lamunannya, tak mau diganggu. Tapi ponsel itu tidak mau tahu, dia terus berbunyi. Meski kesal RJ menyambar ponsel.
Rad.
"Kenapa aku seharian ini nggak bisa telepon kamu ya, Cantik? Chat aku juga tadi nggak ada yang masuk ke kamu," ucap Rad tanpa salam pembuka.
"Masa sih? Aktif aja kok seharian ini. Ini kamu bisa telepon aku. Dari tadi aku nggak ngutak-ngatik setting kok."
Dahinya berkerut sambil mengaktifkan speaker phone. Dia bisa berbicara sambil mengecek ponsel. Setting ponselnya tidak ada yang berubah. Dan memang dia tidak pernah mengurusi pengaturan ponsel. Apalagi sejak Bond mengirim koordinat lokasinya yang langsung dia forward ke supir, RJ tidak pernah lagi memegang ponsel sampai sekarang karena Rad menelepon.
"Kenapa ya? Kamu tuh tadi kaya di blank zone signal gitu." Rad masih mencecar.
"Oohh..." Seakan ada gir yang berputar bekerja di kepala RJ. Ada yang harus dia tanyakan pada Bond. "Aku belum buka chat kamu. Ada apa ya?" RJ mengalihkan pembicaraan.
"Nggak ada apa-apa. Masa telepon tunangan harus ada apa-apa dulu." Rad tersenyum ketika mengatakan itu, tapi RJ malah memutar matanya. "Kamu sekarang lagi ngapain, Cantik?"
"Nggak ngapa-ngapain. Lagi rebahan aja."
Berbincang dengan Rad, tapi kepalanya berisi nama lain. RJ harus berhati-hati. Salah menyebut nama, urusan tidak akan sesimpel kata 'ooh'.
"Ya sudah, kamu baru pulang kan? Istirahat aja. Nanti aku telepon lagi."
"Oke. Bye, Rad."
"Bye, Cantik."
Sambungan terputus. RJ menarik napas. Setelah jeda sesaat, RJ mengetuk nama Bond di layar ponsel yang langsung tersambung nyaris tanpa nada sambung terdengar.
"Kok gue bisa nelepon lu ya, Bond?" tanyanya sebagai salam pembuka.
"Gimana?" Bond yang sedang bersantai di ranjangnya memasang tampang bodoh mendengar pertanyaan seperti itu.
"Iya, kok gue bisa nelepon lu?"
"Pertanyaan aneh." Bond tertawa kecil sambil memperbaiki duduknya. Harus serius ketika RJ berbicara. Tidak boleh ada info terlewat. "Kalau lu ketuk nama gue di phonebook ya lu bisa nelepon gue lah. Tapi gue lebih berharap lu ketuk kepala gue sih. Tandanya lu di sini."
"Rad nggak bisa nelepon gue seharian tadi." RJ mengabaikan ucapan Bond.
Bond terkekeh. "Sinyal lu gue acak."
"Ck." RJ berdecak. Seperti dugaannya. Ada yang Bond lakukan pada sinyal ponselnya. "Kenapa?"
"Ya biar lu nggak terganggu telepon sepanjang lu di sini lah."
Ganti RJ yang terkekeh. "Gue yang terganggu apa lu?"
"Gue sih." Abai, Bond mengedikkan bahunya. "Ngapain lu ke sini kalau cuma buat teleponan sama si Rad."
RJ tertawa kecil. "Lagi ngapain lu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Glundungan di ranjang."
Kenapa sih Bond selalu memilih kata yang membuatnya terpaksa menahan tawa?
"Dari tadi?"
"Dari lu pulang." Bond menyurukkan wajahnya ke sprei bekas RJ merebahkan dirinya. "Lu baru sampai rumah?"
"Iya. Dan Rad langsung nelepon tanya kenapa gue seharian nggak bisa dihubungi."
"Sekarang lu nelepon gue sambil ngapain?"
Lagi-lagi RJ harus menahan tawa. Bond seperti tahu dia akan menjawab apa sehingga pertanyaannya ditanyakan selengkap itu. Membuat dia tidak bisa mengganggu Bond.
"Lagi glundungan juga di ranjang."
"Ck. Kalau cuma mau glundungan doang kenapa tadi pulang sore? Tau gitu mah glundungan bareng di sini."
RJ terdiam. Kenapa benaknya malah terisi bayangan yang lain tentang mereka berdua bergulingan di ranjang itu? Ranjang di kamar Bond yang eksotis. Ranjangnya atau pemiliknya yang eksotis?
"R?" Nada memanggil Bond menyentaknya. "Are you there?"
"Eh, iya..."
"Hayo... mikir apa? Mikir glundungan berdua di sini ya..." Bond terkekeh mengesalkan. "Kamar gue masih kaya tadi lu tinggalin loh. Dindingnya belum gue tutup."
Bayangan kamar itu semakin jelas memenuhi kepala RJ.
"Nggak dingin?"
"Nanti lu akan rasain malam di sini." Suara Bond yang dalam terdengar lain di telinga RJ.
Ucapan itu membuat RJ berpikir, apa lagi yang Bond lakukan pada rumahnya untuk membuat udaranya tetap nyaman. Tapi dia juga bisa merasai makna lain kalimat itu. Entah mengapa, kalimat-kalimat Bond yang seperti itu seperti sengaja dia ucapkan agar masuk ke alam bawah sadar RJ
"Bye, Bond."
"Bye, R. Nice dream."
***
Lepas sambungan terputus, Bond tidak menghentikan aktivitasnya bergulang-guling di ranjang. Mengabaikan makan malam dan pekerjaan yang bertumpuk. Hari ini dia mengosongkan jadwal, membatalkan semua janji temu, demi bisa berkencan dengan RJ. Dan sekarang, dia malah tidak melakukan apa-apa kecuali memikirkan RJ. Seringai bodoh terlalu sering muncul di bibirnya.
Sampai akhirnya dia jatuh tertidur dan terbangun di pagi buta karena dering ponsel. Hanya beberapa nomor ponsel yang dia izinkan mengganggunya. RJ dan PA salah duanya. Masih bergelung di dalam selimut, dia berusaha membuka mata dengan tangan meraba mencari ponsel. Ingin memaki tapi berharap RJ yang mengganggu paginya. Dering itu hanya cara untuk membangunkannya agar membaca pesan yang masuk. Dia tahu siapa yang kelakuannya seperti itu. Bukan RJ. Inisial yang lain. Dan hanya hal penting yang membuat dia harus dibangunkan dengan cara ini.
Gotcha, Sir. You can beat him now. Plan A.
Pesan dari PA menyertakan sebuah file. Matanya langsung terbuka utuh. Kepalanya langsung segar, siap menerima berita. Bond langsung duduk bersila membaca serius isi file.
"YES!" tanpa sadar dia berteriak dan mengayunkan kepalan tangannya ke bawah. Lalu dia melempar tubuhnya terlentang ke ranjang membentuk posisi Vitruvian Man. Seringai kembali muncul di bibirnya diselingi tawa keras.
Good job, PA.
Setelah selebrasi selesai, dia menyambar ponselnya dan mengetik cepat.
Appointment.
Jawabannya segera masuk.
Consider it's done, Sir.
Dia harus segera menaikkan gaji PA-nya. PA, Pi-ay yang sangat jauh dari kata PA, pe-a. Pendek akal. Akal Pi-ay sangat panjang.
***
Bersambung
YOU ARE READING
Manusia Bodoh [16+ End]
RomanceTell me then, does love make me a fool or do only fools fall in love? -Orhan Pamuk- *** APA jadinya jika kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso ditarik ke era milenial? Bond--Bandung Bondowoso--baru saja mengakuisisi holding milik Prabu Boko sa...