PROMISE XVIII

493 60 8
                                    

"Brengsek!" teriak seorang pria paruh baya di dalam kediamannya. Suaranya menggema hingga keluar bahkan mungkin orang-orang yang lewat atau sedang istirahat dapat mendengar teriakan itu. Selagi dia berteriak, pria itu telah menampar wajah seorang pria lain yang lebih muda. Dia menampar anaknya, Song Mingi.

"Kenapa kau selalu saja menyusahkanku?" ucap pria tua yang dipanggil dengan sebutan 'Ayah' oleh Mingi. Ayahnya mendapat kabar dari pihak kepolisian bahwa mereka menemukan bukti jika Mingi terlibat dalam kebakaran toko itu.

"Maafkan aku, Ayah. Bisakah kau menolongku? Tolong selamatkan aku, Ayah" ujar Mingi sembari menangis di hadapan Ayahnya. Hal tersebut bukanlah kali pertama Mingi lakukan sejauh ini. Sudah berkali-kali pria itu berulah dan Ayahnya selalu menyelematkannya dari masalah.

Mingi tinggal bersama Ayahnya sejak dia masih kecil setelah perceraian yang terjadi antara kedua orang tuanya. Dia lebih memilih tinggal bersama Ayah karena Ibunya memutuskan untuk pindah dan menikah lagi. Mingi tidak ingin berada di antara keluarga baru Ibunya sehingga dia memutuskan tinggal bersama Ayahnya.

Ayah Mingi merupakan seseorang yang berpengaruh di kantornya bahkan di daerah mereka. Hampir semua orang di sana mengenali Ayahnya dan juga bersikap segan. Hal itulah yang menjadi tameng bagi Mingi untuk selalu berada di belakang Ayahnya.

Sebetulnya, Mingi dibesarkan dengan baik oleh Ayahnya tanpa kekerasan sedikitpun. Ayahnya juga tidak pernah mencontohkan hal yang buruk pada Mingi sejak dulu hingga sekarang. Perbuatan Mingi beberapa tahun terakhir membuat Ayahnya tidak percaya.

"Kenapa kau berbuat hal seperti itu?! Apa aku pernah mengajari berbuat hal yang buruk?" Mingi terdiam membisu ketika Ayahnya bicara.

"Jawab aku Song Mingi!"

"Aku kesal karena dia mengambil posisiku di tim sepak bola" jawab Mingi.

"Tapi kau tidak perlu sejauh ini kan? Kau bisa menjadi buronan, kau tahu? Ayah tidak percaya kau bisa berbuat hal seperti ini"

"Kau mau Ayah berbuat apa lagi? Membayar polisi dan membebaskanmu? Lagi? Jika setiap saat kau begini, kita akan menderita selamanya-"

"Karena hanya dengan seperti inilah Ayah bisa peduli padaku" ujar Mingi dengan suara yang bergetar.

"Sejak dulu aku tidak pernah mendapat apa yang harusnya aku dapat sebagai seorang anak. Ayah selalu sibuk bekerja hingga lupa bahwa Ayah punya seorang anak laki-laki"

"Jangan pernah membahas soal menderita, Ayah. Aku sudah menderita lebih dulu. Kemana Ayah saat aku terkena demam berdarah beberapa tahun lalu? Kemana Ayah ketika aku pertama kali memenangkan turnamen sepak bola? Kapan terakhir kali Ayah makan bersamaku di rumah? Aku memutuskan untuk tinggal bersama Ayah, karena aku tidak ingin sendiri. Tapi lihat? Ayah sibuk bekerja dan melupakanku. Ayah seakan-akan peduli terhadapku tapi nyatanya tidak begitu."

"Setidaknya jika aku membuat masalah Ayah bisa melihatku sekali meskipun aku dimarahi" Ayah Mingi terdiam ketika anaknya bicara. Ayahnya akui jika dia selalu bekerja tanpa pernah memastikan keadaan Mingi baik kesehatannya, sekolah, karir dan lain sebagainya. Rasa bersalah menyelimutinya hingga Ayah Mingi tidak mengeluarkan satu patah katapun.

"Penjarakan saja jika kau mau" Mingi meninggalkan Ayahnya sendiri sembari melihatnya pergi ke dalam kamar.

•••
"Besok kita akan membersihkan toko?" tanya Yeosang pada Wooyoung yang sedang menyiapkan baju ganti ke dalam tas untuk latihan sepak bola esok hari. Wooyoung mengangguk dengan antusias ketika Yeosang bertanya.

"Yup! Kita akan bersihkan toko besok. Setelah itu aku akan latihan karena lusa akan ada turnamen sepak bola. Kau mau ikut?" tanya Wooyoung.

"Apa boleh?" Wooyoung tersenyum lalu menutup tasnya.

"Tentu boleh. Aku akan lebih semangat jika Kang Yeosang menonton" Yeosang tersipu malu. Wajahnya mulai memerah dan tidak dapat dia sembunyikan.

"Kau tidak akan membentakku lagi kan di sana?" Yeosang mengganggu Wooyoung dengan menyenggol lengannya pelan.

"Masih saja membahasnya" ucap Wooyoung menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Ya sudah aku mau tidur" dengan cepat Wooyoung menarik tangan Yeosang hingga pria itu jatuh ke pelukan Wooyoung. Yeosang melebarkan kedua matanya karena terkejut atas apa yang Wooyoung perbuat. Dia menepuk pelan dada Wooyoung dan bersiap untuk meneriakinya. Namun sebelum itu terjadi, Wooyoung lebih dulu mendekap Yeosang ke dalam pelukannya.

"Kau bisa tidur denganku malam ini" kata Wooyoung sembari memeluk Yeosang.

"Dalam mimpimu" sahut Yeosang berusaha untuk lepas dari pelukan hangat Wooyoung. Sejujurnya dia merasa nyaman dengan pelukan itu namun Yeosang masih memegang teguh sikap egoisnya pada Wooyoung.

"Cih. Dalam mimpimu juga kau bisa lepas dari pelukanku" Wooyoung semakin memperat pelukannya lalu menggendong Yeosang ke ranjang di kamar Wooyoung. Sembari Wooyoung menggendongnya, Yeosang mengomel keras namun ciuman singkat Wooyoung berhasil membuatnya diam.

Wooyoung meletakan Yeosang di atas ranjang tidurnya perlahan. Dia tidak melepaskan Yeosang begitu saja malam itu. Wooyoung berada di atas tubuh Yeosang dan menahan tangan Yeosang dengan kedua tangannya. Yeosang bahkan tidak dapat menggerakannya karena tenaga seorang atlet tidak bisa dia pungkiri lagi.

"Ciuman tadi masih kurang ya?" ujar Yeosang pada Wooyoung dimana jarak antara mereka  begitu tipis.

"Tadi hanya pemanasan saja" jawab Wooyoung seakan menggoda Yeosang. Dia meraih tangan Yeosang lalu menciumnya pelan.

"Dasar mesum!" ucap Yeosang sembari tertawa pelan.

"Baiklah, aku tidur di sini malam ini. Tapi, bisa tidak turun dari tubuhku? Berat sekali" Wooyoung segera turun ketika Yeosang memintanya. Dia kini berada di samping Yeosang dan membentangkan tangan kirinya untuk Yeosang dapat berbaring di sana.

"Sini" Wooyoung menepuk lengannya agar Yeosang tidur di sana. Yeosang tidak menolak hal itu dan dia berbaring dengan tangan Wooyoung menjadi bantalnya. Selagi Yeosang berada di sampingnya, Wooyoung menarik Yeosang untuk lebih dekat. Wajah mereka sangat dekat kala Yeosang berada di pelukan tubuh Wooyoung.

"Syukurlah kau baik-baik saja" ujar Wooyoung pelan seraya menghirup aroma shampoo pada rambut Yeosang. Yeosang tersenyum dan dengan tiba-tiba mengecup bibir Wooyoung.

"Sudah berani rupanya" gumam Wooyoung.

"Selamat malam" Yeosang memejamkan kedua matanya dan tertidur dengan aman bersama Wooyoung.

•••

"Mingi! Buka pintunya!"

"Aku bilang buka pintunya Mingi!"

PROMISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang