PROMISE VII

462 59 9
                                    

Wooyoung menarik pergelangan Yeosang ketika di sampai di rumah. Wooyoung membawanya menuju ruang tamu dan menahan Yeosang ketika dia ingin beranjak dari sana. Wooyoung menahan Yeosang sekuat tenaga hingga Yeosang duduk diam di atas sofa bersamanya.

"Berhenti bersikap dingin denganku!" kata Wooyoung dengan sedikit nada protes di dalamnya.

"Siapa yang begitu?!" sahut Yeosang lebih keras.

"Apa salahku? Bicaralah padaku jika aku melakukan kesalahan"

Yeosang menarik nafasnya dalam sebelum dia mulai menjawab Wooyoung.

"Aku lelah, Wooyoung. Bisakah kau biarkan aku pergi?"

"Tidak. Tidak akan" jawab Wooyoung membuat Yeosang tetap berada di sana bersamanya.

"Bicaralah.." lirih Wooyoung.

"Untuk apa bicara pada pria yang keras kepala" sahut Yeosang mengalihkan pandangannya dari Wooyoung. Pria itu berusaha menahan amarahnya.

"Lagipula, jika aku memberitahumu kau akan tetap berkutat dengan tekatmu itu kan? Silahkan saja jika ingin terus berada di club sepak bola yang aneh itu. Kita lihat apakah kau dapat berhasil meraih mimpimu jika kau terus berada di sana" sambung Yeosang di tengah keheningan di antara mereka. Wooyoung menundukkan kepalanya mendengar celotehan Yeosang yang sedikit meremukkan hatinya.

Wooyoung bersungguh-sungguh ingin menjadi pemain sepak bola yang hebat di masa depan. Dia tidak peduli dengan orang-orang yang berusaha menyingkirkannya dan mematahkan semangatnya. Wooyoung hanya tahu bahwa setiap perjuangan yang sudah dia lakukan, akan menuai hasil yang  baik di masa depan.

Namun malam ini, pikirannya seketika menjadi berantakan. Ucapan Yeosang bagai hiruk pikuk yang tak pernah tenang di telinganya. Dia benar-benar merasakan dentuman keras pada dadanya. Yeosang telah melukai hatinya, dan hari ini adalah kali pertama.

Yeosang menyadari bahwa kata-kata yang dia lontarkan membuat Wooyoung merasa sedih juga kecewa. Dia memalingkan wajahnya untuk melihat Wooyoung di sampingnya. Yeosang melihat Wooyoung menunduk dengan matanya yang menatap kosong.

"Apa mimpiku menjadi pemain sepak bola terasa seperti omong kosong Kang Yeosang?" Yeosang tertegun ketika Wooyoung membalas perkataanya. Bibir Yeosang terasa kelu untuk menjawab pria di sampingnya. Wooyoung mengalihkan pandangannya menatap Yeosang dalam. Mata kecokelatan serta pupil yang membesar seakan menahan amarah yang dia pendam.

"Wooyoung maksudku-"

"Kau sama saja dengan orang-orang yang menghajarku di club. Kau tidak percaya denganku, Yeosang. Mungkin kau benar, aku tidak akan bisa menjadi pemain sepak bola karena aku adalah orang yang payah dan pengecut. Terima kasih sudah memberiku masukan, kau boleh pergi sekarang" ujar Wooyoung membuat suasana menjadi tegang bagi Yeosang. Jantungnya berdegup kencang. Wooyoung seakan menampar keras wajah Yeosang saat itu. Dia tidak bermaksud untuk melontarkan kata-kata tersebut dan menyebabkan Wooyoung terluka.

"Wooyoung dengar, maksudku adalah-"

"Diam Yeosang. Tinggalkan aku sendiri"

"Tinggalkan aku sendiri Yeosang!!"

•••

Kesunyian menyelimuti rumah kecil nan sederhana itu. Tidak seorangpun mampu untuk mengeluarkan suara di dalam sana kecuali terpaan angin yang menggerakan jendela kayu jati hingga menghasilkan suara. Bersamaan dengan terpaan angin, perlahan salju pertama malam itu turun dengan tenang. Wooyoung melirik jendela jati itu keluar untuk menyaksikan salju turun.

Salju perlahan turun dan menyelimuti semua benda di bawahnya. Salju memberikan banyak kenangan bagi Wooyoung. Di masa kecil, ketika salju pertama turun dia bersama keluarga akan makan makanan enak. Selain itu, dia juga bermain dengan teman-temannya di luar rumah. Bagi Wooyoung, waktu berjalan dengan cepat dan seakan tidak memberinya kesempatan untuk selalu berada di moment itu. Sebetulnya, dia rindu Ayah dan Ibunya.

Kapan kalian akan mengingatku?

Pekerjaan terasa lebih penting, ya?

Pulanglah sesekali. Aku juga rindu

Suara pintu kamar yang terbuka membuyarkan lamunan pria itu. Dia menoleh ke arah sumber suara tersebut dan mendapati Yeosang telah menggunakan jaket tebal yang akan bersiap-siap untuk pergi. Wooyoung memalingkan wajahnya ketika itu. Dia masih tidak ingin bicara pada Yeosang untuk sementara waktu. Kekecewaan tampak jelas pada raut wajah Yeosang ketika Wooyoung mengabaikannya.

Wooyoung lekas meninggalkan ruang tamu lalu bergegas menuju kamarnya. Dia tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan Yeosang dimana hal itu akan membuatnya lebih tidak nyaman. Bagi Wooyoung, hal itu adalah keputusan yang tepat. Perkataan Yeosang seakan benar-benar menghancurkan keinganannya.

Yeosang menghela nafasnya berat melihat Wooyoung yang pergi meninggalkannya sendiri di sana. Dia merasa canggung dan tidak nyaman ketika Wooyoung mengabaikannya seperti saat ini. Namun dia juga sadar, bahwa perkataannya sudah melukai hati sahabatnya itu. Meskipun, Yeosang tidak bermaksud demikian.

Yeosang berjalan di tengah salju yang kian deras. Dia menuju swalayan untuk membeli persediaan di rumah yang telah habis. Hari ini, Ibu Jung mengirimkan uang bulanan untuk mereka berdua sehingga Yeosang harus segera membeli kebutuhan mereka. Ibu Jung mengirimkan uang lebih karena sebentar lagi adalah perayaan natal.

Yeosang membeli berbagai pernak-pernik untuk menghias rumah di malam natal. Dia juga memutuskan untuk membeli pohon natal baru dengan tampilan sederhana namun indah untuk dipandang dan dipajang. Perasaannya mulai membaik ketika dia melihat barang-barang itu di toko. Selain itu, dia membeli penghangat ruangan untuk di ruang tamu dan di kamarnya. Dia tidak ingin repot-repot untuk menumpang di kamar Wooyoung lagi.

•••

24 Desember 2020

Yeosang meletakan seluruh pernak-pernik natal yang sudah dia beli seminggu lalu di lantai. Dia memperhatikan seisi rumah sembari memikirkan dimana dia harus menghias. Setelah itu, dia memulai untuk menghias rumah kecil nan sederhana itu. Yeosang terlihat kesulitan ketika dia harus menempel kertas warna putih dan merah di dinding bagian atas. Dia mengambil kursi untuk membantunya, dan berhasil.

Setelah dinding dan meja yang sudah dia hias dengan kertas glossy, dia melanjutkan dengan menghias pohon natal kecil di sudut jendela. Bagian kesukaannya adalah menggantungkan bola-bola kecil di sana dan hal paling sulit yaitu ketika dia harus menempelkan bintang di ujung pohon natal. Biasanya, Wooyoung akan menolongnya dengan meletakan bintang itu. Namun, sudah 1 minggu mereka tidak saling bicara sehingga Yeosang harus melakukannya sendiri.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Yeosang baru saja menyelesaikan tugasnya yaitu menghias rumah untuk perayaan natal esok hari. Dia terduduk di lantai dengan bersandar pada sofa seraya melihat sekeliling ruang tamu yang telah dia hias. Lengkungan senyum menghiasi wajahnya kala itu dan lelahnya seakan terbayar.

Yeosang melirik pintu kamar yang sejak pagi tertutup rapat. Pria di dalamnya bahkan tidak memakan makanan dari Yeosang. Dia sedikit khawatir dengan kondisi Wooyoung namun bibirnya seakan kelu dan tertahan untuk mulai bicara pada pria itu.

Selamat natal, Wooyoung.. benaknya sebelum dia tertidur pulas di lantai.

Pintu kamar terbuka perlahan. Sang pria melihat sekeliling rumah yang begitu indah kala itu. Dia merindukan suasana natal setiap tahun dan selalu ingin berada pada masa itu. Wooyoung tersenyum kecil. Yeosang selalu dapat diandalkan untuk hal seperti ini pikirnya.

Matanya berusaha mencari sosok Yeosang di sana sampai dimana dia mendapati Yeosang telah tertidur pulas di lantai. Wooyoung berjalan mendekati Yeosang dengan sendal kelinci yang terpasang di jemari kakinya. Wooyoung berlutut melihat Yeosang. Dia mengelus pelan wajah dan rambut pria yang tengah tertidur pulas di lantai itu. Sesekali Wooyoung juga membersihkan sisa-sisa kertas di rambutnya.

Wooyoung membawa Yeosang menuju kamar miliknya mengingat penghangat ruangan hanya ada di kamarnya. Padahal, Yeosang sudah membeli satu untuknya. Wooyoung dengan perlahan meletakan Yeosang di atas ranjang lalu menyelimuti setengah dari tubuhnya. Dia juga meletakan tangan Yeosang ke dalam selimut supaya tangannya tetap hangat.

Pria itu duduk di sudut kasur melihat Yeosang yang tengah tertidur pulas di sana.

"Terima kasih sudah merawatku, Yeosang" ujarnya sembari menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah Yeosang.

"Selamat natal, ya" kecupan singkat dia berikan pada ujung kepala Yeosang malam itu dan Wooyoung memaafkan Yeosang.

PROMISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang