PROMISE XVII

434 62 19
                                    

Yeosang memegang bibirnya saat Wooyoung memberikan ciuman secara tiba-tiba. Hal itu bukanlah yang pertama Wooyoung lakukan pada Yeosang. Dulu saat mereka masih di bangku sekolah, sering kali Wooyoung mencium pipi Yeosang secara tiba-tiba. Jika ditanya mengapa Wooyoung melakukan itu, dia akan menjawab "Aku hanya ingin melakukannya".

Wooyoung kembali menatap Yeosang dengan sangat dalam. Matanya seakan bicara pada Yeosang bahwa dia begitu menyesal atas semua yang telah terjadi. Dia selalu berandai-andai jika saja Wooyoung tidak meninggalkan rumah dan membentak Yeosang waktu itu, Mingi tidak akan sejauh ini.

"Maaf karena waktu itu aku membentakmu" Wooyoung memecah keheningan antara mereka berdua. Yeosang mengangkat kepalanya dan melihat Wooyoung yang kini tengah menundukan kepalanya.

"Tidak apa. Harusnya aku yang minta maaf padamu karena menyembunyikan banyak hal" sahut Yeosang.

"Sebenarnya aku ingin memberitahumu soal itu sejak dulu. Tapi Ibu melarangku untuk bicara demi kebaikan kita semua. Maaf karena menyimpannya terlalu lama" kini Yeosang yang menunduk karena merasa bersalah pada Wooyoung. Dia mengakui bahwa selama ini dia salah karena menyembunyikan fakta di antara mereka.

"Hei" Wooyoung memegang kedua pundak Yeosang untuk membuatnya mengangkat kepala dan menatap Wooyoung.

"Terima kasih karena telah mengurusku selama ini, ya. Mungkin ketika aku baru tahu bahwa Ibuku sudah meninggal, aku masih terkejut akan itu dan akhirnya menyalahkanmu. Tapi seharusnya, aku tidak menyalahkanmu dan membuat semuanya menjadi lebih sulit" Yeosang terdiam ketika Wooyoung menyampaikan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Yeosang pikir, Wooyoung akan marah dan meninggalkannya sendiri setelah kejadian itu.

"Wah, lihat pundak ini. Pasti lelah kan menanggungnya sendiri?" sambung Wooyoung lalu tersenyum menatap Yeosang di depannya. Yeosang menahan air matanya untuk tidak jatuh dari pelupuk matanya. Dia tidak ingin menangis lagi namun tangisnya seketika tidak dapat dia bendung ketika Wooyoung bicara hal yang menyentuh hatinya.

Yeosang tiba-tiba menarik tubuh Wooyoung dan memeluknya dengan erat. Tidak ada yang lebih kuat di antara mereka pikirnya. Mereka berdua terlalu lama menanggungnya sendiri. Tidak ada kata yang mampu terucap kecuali tangis yang mengisi kebisingan di antara mereka kala itu. Yeosang tidak ingin seperti ini lagi di kemudian hari begitu pula Wooyoung. Mereka tenggelam dalam haru biru seakan hari ini adalah hari terakhir bagi mereka.

"Ngomong-ngomong, semua bajumu dimana?" Wooyoung bertanya pada Yeosang yang menyandarkan kepalanya pada dada Wooyoung.

"Aku bawa ke toko" jawab Yeosang pelan.

"Kenapa kau bawa ke sana?" ujar Wooyoung sembari mengelus pelan rambut Yeosang.

"Kau marah padaku"

"Lantas kau pergi dari rumah?" Wooyoung terkejut ketika mengetahui bahwa Yeosang meninggalkan rumah. Dia tidak menyangka bahwa Yeosang akan bertindak seperti ini.

"Hm" Yeosang melihat Wooyoung.

"Kau terlalu mengambil hati perkataanku saat di gedung olahraga" ucap Wooyoung kembali memeluk erat Yeosang dan sesekali dia mencium rambut Yeosang.

"Kenapa tidak tinggal di rumah saja?"

"Kenapa memutuskan untuk pergi dari rumah?"

"Ini rumahmu, kenapa harus repot-repot pergi dan tinggal di toko" Wooyoung bertanya tanpa memberi Yeosang kesempatan untuk menjawab.

"Ini bukan rumahku. Rumah ini-"

"Punya kita" sebelum Yeosang menyelesaikan kalimatnya, Wooyoung lebih dulu memotong bicaranya.

Yeosang menyerah dan memutuskan untuk berhenti berdebat. Dia kembali memeluk Wooyoung dengan manja dan membuat Wooyoung heran. Tidak biasanya Yeosang akan berperilaku seperti ini pikirnya. Bahkan dulu, jika Wooyoung mencoba untuk melakukan kontak fisik dengan Yeosang, pria itu akan menghindar atau bahkan meneriaki Wooyoung. Namun saat ini, alih-alih ingin menghindar Yeosang malah semakin mempererat pelukannya.

Wooyoung melepas pelan pelukan Yeosang lalu meraih wajah pria itu untuk mendekat. Tidak ada rasa takut sekalipun ketika dua mata itu bertemu, terlebih Yeosang. Wooyoung mengelus pelan wajah Yeosang dan menyisihkan rambut yang panjang ke belakang telinganya. Wooyoung kembali menatap Yeosang dan perlahan mulai memperpendek jarak di antara mereka.

Wooyoung mencium bibir Yeosang dengan lembut. Dia tidak langsung bermain dengan itu dan membiarkan Yeosang terbiasa lebih dulu. Wooyoung melepas ciumannya dan melihat ekspresi Yeosang yang tampak tenang hingga membuat Wooyoung harus menerka maksud dari ekspresi itu.

Wooyoung mendorong bagian belakang kepala Yeosang lalu menciumnya kembali. Tidak seperti yang dilakukannya beberapa waktu lalu, Wooyoung mulai bermain dengan bibir Yeosang. Wooyoung perlahan mulai melumat pelan bibir Yeosang. Dia tidak memaksa Yeosang untuk membalasnya namun selang setelah itu, Yeosang melingkarkan tangannya pada leher Wooyoung dan membalas ciuman dari pria itu. Dia juga mengubah posisinya menjadi berada di pangkuan Wooyoung. Keduanya menikmati ciuman itu hingga lupa bahwa mereka berdua belum membersihkan tubuh pasca kebakaran yang menimpa toko Yeosang.

"Hei, tidak ingin mandi?" tanya Yeosang.

"Mandi bersama?"

•••

"Mingi, kau sudah gila ya? Bagaimana bisa kau membakar toko anak itu?" ujar seseorang di antara perkumpulan itu.

"Orang seperti dia itu harus diberi pelajaran, kau tahu"

"Kau bisa jadi buronan!"

"Persetan dengan itu. Orang tuaku tidak akan membiarkanku berada di penjara" sahut Mingi.

"Lagipula tidak ada bukti aku yang melakukannya"

"Cih, lihatlah betapa sombongnya bedebah ini" gumam seseorang yang berjalan melewati perkumpulan mereka.

PROMISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang