Hoekkkk....
Dengan tergesa-gesa aku melangkah ke kamar mandi, menuju wastafel dan memuntahkan apa yang sejak tadi bergemuruh di dalam perutku. Tidak ada apa-apa selain cairan bening yang kental, menjijikkan dan membuatku semakin ingin mengeluarkan semua isi perutku.
Kunyalakan keran dan kubasuh mulut serta wajahku dengan air, berkumur-kumur sedikit untuk menghilangkan sisa-sisa cairan menjijikkan tersebut. Kutatap wajahku di cermin dengan pandangan lelah, sudah seminggu ini aku terjaga di tengah malam hanya untuk lari terbirit-birit ke kamar mandi.
"Kenapa sayang?" Suara seraknya membuatku memalingkan wajah dari cermin ke arahnya yang berada di ambang pintu kamar mandi, dia berdiri disana, dengan penampilan khas orang bangun tidur. Rambut berantakan plus mata yang enggan terbuka.
Dia menghampiriku lalu merapikan anak rambutku yang sedikit basah karena wajah yang kubasuh dengan air tadi.
"Muntah lagi?"
Aku mengangguk lemah "Lagi-lagi aku ganggu tidur kamu Mas, padahal Mas baru memejamkan mata dua jam yang lalu."
Akhir-akhir ini Mas Raihan memang agak sibuk karena ada beberapa pasien yang akan dioperasinya. Aku jadi merasa bersalah karena mengganggu waktu istirahatnya yang terbilang minim karena besok pagi-pagi sekali dia harus berangkat lagi ke Rumah Sakit untuk menangani pasiennya.
Dia menatapku intens "Aku akan lebih terganggu kalau kamu sampai sakit sayang, apa kita perlu ke Rumah Sakit. Sepertinya penyakit masuk anginmu semakin tidak wajar saja, kalau begini terus nanti kamu malah kelelahan karena setiap malam harus berlari ke kamar mandi." Katanya dengan panik.
Aku tersenyum "Ngga usah Mas, ini hanya masuk angin biasa kok. Aku hanya butuh istirahat saja, nanti juga sembuh."
"Tapi ini udah seminggu sayang, ngga baik buat kesehatan kamu karena harus terjaga di jam segini setiap hari."
Beginilah hidup dengan seorang dokter, kesehatan harus selalu di perhatikan. "Lagian ngapain harus ke Rumah Sakit, suamiku kan dokter jadi pasti tahu dong kalau penyakitku ini hanya penyakit biasa."
Dia masih mentapku khawatir "Ya bedalah sayang, aku kan dokter spesialis jantung bukan dokter penyakit dalam."
Kutangkup wajahnya lalu tersenyum "Aku baik-baik saja Mas Raihan sayang. Jangan panik dan jangan khawatir. Oke." Ucapku lalu mengecup bibirnya singkat, inilah cara yang kupakai agar dia membungkam mulutnya dan menghentikan segala nasehat-nasehatnya.
Aku tahu dia kesal karena aku selalu membantah ucapannya setiap kali memintaku pergi ke Rumah Sakit, tapi pada akhirnya dia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkahku.
Kami keluar dari kamar mandi lalu duduk bersandar di kepala ranjang, sepertinya rasa kantuk kami sudah menguap entah kemana. Akhirnya kami malah mengobrol sepanjang malam.
"Mungkin seperti ini yah kalau wanita yang sedang hamil,"
Alisnya mengerut mendengar ucapanku yang tiba-tiba, tangannya yang sejak tadi memainkan jari-jariku~kebiasaan anehnya setiap kami ngobrol~pun otomatis terhenti.
"Mba Dira pernah cerita, saat kehamilannya pada trismester pertama. Setiap malam dia harus bolak balik ke kamar mandi, bawaannya mual setiap saat. Sama seperti aku, cuma bedanya aku mual karena masuk angin." Suaraku mulai melemah, ada rasa sedih menyusup ke hatiku secara tiba-tiba.
Tangan kanannya beralih melingkar di bahuku, menarikku bersandar ke dada bidangnya.
"Dan bisa dipastikan Bang Yoga yang juga ikut terbangun dan membantu menenangkan emosi Mba Dira, yahh seperti yang Mas sekarang lakukan." Kini suaraku menjadi parau karena tangis yang berusaha kutahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadiza
Разноеkeputusan Ayah untuk menikah lagi setelah bunda meninggal memberi kesan kalau dia sudah tidak menyayangiku lagi sebagai putrinya. Kakak perempuan yang kuharapkan bisa menjadi tempatku berbagi pun mengkhianatiku, dia menerima dengan senang hati kehad...