Duapuluhdua (Extranya Extra Part)

24.8K 876 32
                                    

Bibirku melengkung sempurna melihat interaksi antara dua perempuan yang kini menjadi satu-satunya pusat duniaku, sumber dari segala kebahagiaanku. Satu-satunya alasan yang membuatku ingin cepat pulang dari Rumah Sakit setiap harinya.

Zara Islami Puteri.

Sosok mungil yang kini berusia tujuh bulan yang sibuk berceloteh khas bayi pada umumnya, sementara wanita cantik di hadapannya sibuk mengganti popok si bayi dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Matanya berbinar dan sesekali menyahuti celotehan si bayi, seakan dia mengerti bahasa tersebut.

"Assalamualaikum..."

"Wa'alaikumsalam..." Gadiza menoleh kearahku yang masih berdiri di ambang pintu kamar puteri kami, melempar senyum manisnya padaku.

Aku berjalan menghampirinya, mengulurkan tanganku untuk diciumnya lalu mengecup keningnya. Mataku kemudian beralih pada sosok mungil yang juga melihat ke arahku dengan matanya yang bening.

"Halo sayang, anak Papa yang paling cantik. Bagaimana kabarmu hari ini, Heumm..." sapaku pada puteri kami yang langsung berceloteh tak jelas, seakan dia sedang menjawab pertanyaanku dengan bahasanya sendiri.

Kupandangi dia dengan perasaan senang dan haru, dia adalah anugerah terindah yang diberikan Allah setelah tujuh tahun lamanya kami menantikan kehadirannya.

Saat aku hendak menciumnya, wanita di sampingku langsung menginterupsinya "Mandi dulu Mas, ngga inget yah banyak virus yang menempel di pakaianmu."

Aku hanya bisa meringis sambil nyengir mendengar omelan Diza yang hampir tiap hari dia ulangi, menurutnya banyak virus penyakit yang berasal dari Rumah Sakit yang ikut pulang bersamaku ke rumah. Hmm... benar juga sih.

Aku mengerti kekhawatiran Diza, dia hanya berusaha mencegah bayi kami terkontaminasi oleh apapun yang akan berakibat buruk pada kondisi bayi kami. Dan aku sebagai orang yang sudah paham betul tentang arti kebersihan bagian dari kesehatan selalu lupa akan hal itu, semua karena aku tidak tahan untuk segera menggendong, menciumi anakku, dan bermain bersamanya.

Tak mau mendengarkan omelan Diza yang nantinya menjadi semakin panjang, aku segera beranjak ke kamar untuk membersihkan diri.

Usai mandi aku langsung menuju kamar bayiku yang tepat berada disebelah kamar kami, kuraih Zara dari gendongan Diza dan kuciumi pipinya yang mirip dengan mamanya, tembem. Kalau saja Diza bisa membaca apa yang sedang kupikirkan sekarang dia pasti akan cemberut dan melarangku untuk menciumnya. Lucu sekali istriku itu.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Tanyanya saat kembali dari dapur, membawa secangkir teh hangat untukku.

"Ngga kenapa-kenapa," aku tak mungkin menjawabnya dengan jujur, bisa ngga dikasih jatah nanti aku malam. "Bagaimana hari ini, apa si kecil rewel?" Tanyaku kemudian.

Diza mengangguk "Seharian ini dia terus menerus mengoceh, seperti tak ada kata lelah. Kamu tahu Mas, dia bahkan bisa menggumam kata ma...ma... sekarang. Aku benar-benar bahagia Mas, setiap hari ada saja perkembangan darinya yang bisa membuatku terharu. Aku tidak rela kehilangan sedikit saja moment bersamanya." Ujarnya sambil mengusap kepala Zara yang hari ini memakai pita berwarna pink yang membuatnya tampil semakin cantik.

Setiap kali Diza bercerita, rasa bahagia itu benar-benar menular pada diriku. Kadang aku menyesali kesibukanku di Rumah Sakit hingga akhirnya aku jarang sekali bisa menyaksikan secara langsung apa saja yang sudah bisa anakku lakukan di usianya yang semakin hari semakin bertambah.

Contohnya saat Zara berusia tiga bulan, aku hanya bisa mendengarkan saat Diza bercerita dengan antusias mengenai anak kami yang bisa tengkurap untuk pertama kalinya. Senyumnya mengembang sempurna, matanya benar-benar memancarkan kebahagiaan dan aku bisa merasakan apa yang dia rasakan saat itu.

GadizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang