Delapan

11.4K 634 11
                                    

Masalah yang beberapa bulan belakangan ini selalu mengukung jiwaku adalah sebuah ujian hidup yang harus kulalui dengan penuh keyakinan kalau semua akan berakhir dengan indah, meski jalannya terjal tapi hanya itulah jalan menuju kebahagiaan. Sesungguhnya masih banyak orang yang lebih susah dariku, maka berhenti mengeluh adalah tindakan yang tepat dan bersyukur atas nikmat yang sudah diberikan oleh Allah SWT. Aku belajar menata hidupku yang dulunya dipenuhi rasa benci, kini aku hidup damai dalam keluarga yang selalu menjanjikan kehangatan.

Jam kuliah selesai, saatnya mencari nafkah. Aku terkekeh sendiri dengan istilah itu, mencari nafkah apanya? Penghasilan dari kerja part-time yang kulakukan di sebuah cafe nyatanya hanya mampu menutupi uang transport, selebihnya masih minta pada Ayah. Hidup mandiri ternyata tidak semudah yang kubayangkan, masih terasa sulit untuk aku yang manja ini. Sudahlah, yang penting kan aku sudah niat.

Saat berjalan menuju halte tiba-tiba ponselku berdering, tanda ada pesan masuk.

Kamu dimana sekarang?

Pesan dari Mas Raihan, belakangan ini kami memang hanya berkomunikasi lewat telepon atau sms karena kami sama-sama sedang sibuk. Dia dengan pasien-pasiennya dan aku dengan kuliah dan kerja part-time ku. Dengan semangat aku membalas pesannya.

Baru kelar kuliah, mau langsung ke cafe. Kenapa mas?

Dua detik kemudian sudah ada balasannya lagi, tangannya sudah terlatih sekali. Pikirku

Tunggu aku di lobi, aku jemput kamu.

Senyumku mengembang sempurna, mas Raihan mau jemput aku.

Oke^^

Baru beberapa menit saja, BMW sedan seriesnya sudah bertengger di depan lobi. Aku segera naik dan menyapanya, kenapa dia terlihat semakin tampan yah?

"Tumben, emang lagi ngga sibuk?" Tanyaku sambil memakai seatbelt demi keamanan.

"Tidak terlalu, lagi kangen ajah sama kamu."

Benarkah?

"Memangnya kamu ngga kangen? Udah hampir sebulan loh kita ngga ketemu."

Sikapnya yang beginilah yang membuat aku semakin tak bisa menampik apa yang kini tengah aku rasakan, perhatiannya yang tercurah untukku perlahan menyentuh hatiku. Aku tidak berani menyebut ini Cinta karena masih terlalu dini, belum lama ini hatiku tersakiti karena ulah seorang pria dan aku tidak siap bila harus merasakan hal yang sama. Aku tak mau menyalahartikan sikapnya terhadapku, seperti yang dia bilang tempo hari. Aku adalah adiknya, itulah arti diriku baginya.

"Gadiza putri Indrayana, kamu dengerin aku ngomong ngga sih?"

Lamunanku langsung buyar mendengarnya menyebut nama lengkapku. "Ahhh.. enggg... emang tadi mas ngomong apa?" Ucapku salah tingkah.

"Bisakah kamu menghilangkan kebiasaan melamunmu itu? Itu sangat tidak sopan tau, melamunkan orang lain disaat bersamaku."

Aku mendengus mendengar ucapannya, aku memang melamun tapi bukan melamunkan orang lain melainkan melamunkan orang yang kini duduk di balik kemudi dan sedang cengengesan ngga jelas.

"Apa ada pria yang sedang kamu taksir? Hemm..." tanyanya sambil menaik-naikkan alisnya. Berusaha menggodaku rupanya, baik... akan kuladeni.

"Kok mas bisa tahu? Situ ada keturunan cenayang yah?"

"Hah, jadi benar. Siapa pria itu?" tanyanya masih fokus ke jalanan.

"Kamu."

Ciiiiiittt..........

Mobil yang kami tumpangi mengerem mendadak beruntung kami berdua memakai seatbealt.

"Kamu jangan bercanda Diz!"

GadizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang