Tujuh

12.7K 654 7
                                    

Nadira POV

Tak ada yang lebih membahagiakan saat ini selain melihat Gadiza, adikku kembali bersemangat menjalani hidup. Dia tak lagi menangis meskipun sesekali aku mendapatinya sedang melamun, tapi itu sedikit melegakan. Saat ini dia sedang sibuk memilih universitas untuk melanjutkan kuliahnya lagi, padahal aku sempat mengira Diza tak mau melanjutkan pendidikannya lagi. Tapi syukurlah itu tak terjadi.

"Kenapa ngga masuk kampus tempat kakak mengajar Diz? Kan kita bisa berangkat bareng nanti." Kataku saat menemaninya di ruang keluarga, dia mengalihkan pandangannya dari brosur beberapa universitas melihat kearahku.

"Ngga deh mba, nanti takut dibilang KKN, hehe. Lagian emang mba ngga malu apa kalau nanti mahasiswa mba ada yang tau masalahku. Nanti yang ada aku malah membebani mba."

"Kok kamu ngomongnya gitu sih Diz, mba ngga pernah merasa terbebani. Percaya sama mba!"

Diza tersenyum lalu memelukku "Aku percaya kok mba, tapi lebih baik aku cari kampus lain ajah yah. Mba ngga marah kan?"

Aku menggeleng sambil mengusap punggungnya, Mana mungkin aku marah karena hal sepele seperti ini, aku hanya berharap dimanapun nantinya Diza kuliah kuharap dia dikelilingi teman-teman yang baik dan terhindar dari orang-orang yang berniat jahat.

"Trus apa kamu sudah menemukan kampus yang menurutmu cocok?"

Dia mengangguk "sudah mba, rencananya besok aku akan mendaftar ditemani Mas Raihan"

Raihan?

Mendengar namanya disebut saja membuat jantungku berdetak lebih kencang apalagi kalau orangnya ada disini. Aku hampir melupakan keberadaannya semenjak kami bertemu pertama kali di Rumah Sakit, walaupun setelahnya kami masih sering bertemu saat dia memeriksa kondisi kesehatan Diza tapi kami tidak banyak bicara karena memang tak ada yang perlu dibicarakan, menurutku.

"Mba, ceritain dong tentang mas Raihan saat masih SMA. Apa dia memang sudah sepintar itu?" Tanyanya antusias, membuatku hingung harus memulainya darimana.

"Hmm... dulu dia memang salah satu murid terpandai di angkatan kami, selalu mendapatkan peringkat pertama, pernah menjadi ketua OSIS, ketua tim basket dan dua kali meraih medali emas di Olimpiade Matrmatika di Singapura."

Aku terkekeh saat melihat ekspresi Diza yang menganga setelah mendengar rentetan prestasi Raihan semasa sekolah. Aku tak heran akan hal itu, karena Raihan memang mengagumkan.

"Trus kalau tentang kisah cintanya, apa dia termasuk playboy di sekolah?"

Cepat-cepat aku menggelengkan kepala, Raihan bukanlah tipe pria yang suka tebar pesona walaupun kuaikui dari segi fisik dia memang sangat menarik. Tubuh tinggi yang proporsional yang jarang dimiliki murid SMA plus wajah tampan dengan ukiran hidung dan rahang yang sempurna.

"Dia ngga seperti cowok lain yang suka gonta ganti pacar, dia malah terbilang anti sama cewek yang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya padanya. Kalo boleh mba bilang dia cuek sama hal-hal yang begituan."

"Masa ngga pernah sekalipun pacaran mba? mas Raihan kan ganteng."pujinya tanpa malu-malu, begitulah Diza. Blak-blakan tapi bukan berarti juga bocor.

"Entah dibilang pacaran atau tidak, tapi setahun sebelum lulus SMA. Dia pernah dekat dengan seseorang yang terpaksa harus berpisah karena waktu itu Raihan melajutkan kuliah di Harvard."

Diza menyimak ceritaku dengan serius "mba kenal siapa cewek itu?"

Tentu saja kenal, bukankah aku sedang bercerita tentang diriku sendiri. Dulu aku dan Raihan memang tidak bisa dikatakan pacaran karena kedekatan kami mengalir begitu saja, tapi teman-teman sekolah kami menganggapnya begitu. Bahkan cewek-cewek yang tadinya sibuk mencari perhatian mundur secara teratur melihat kedekatan kami.

GadizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang