Aku merasa hidup ini ngga adil, kenapa disaat aku sudah mulai meyakinkan diri untuk bangkit dari keterpurukan tapi justru kemalangan yang kuterima. Kenapa disaat diriku sudah mulai menguatkan hati justru mentalku yang makin jatuh terperosok ke jurang. Apa aku sama sekali tak berhak mendapatkan kesempatan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Lagi-lagi aku mencoreng nama baik keluarga, terutama Ayah. Meski disini aku menjadi korban tapi tetap saja ini memalukan. Aris dan Reno sudah menghancurkan hidupku, dua laki-laki bajingan itu sudah merenggut semuanya dariku, aku ingin mati saja. Aku tak sanggup melihat kesedihan di wajah Ayah dan mba Dira. Aku tak sanggup.
"Astaghfirullahalazim...astaghfirullahalazim" aku terus beristighfar, meminta ampun atas niatanku untuk mengakhiri hidup yang sempat terlintas di kepalaku tadi. Aku tak ingin mengulangi kesalahanku lagi, menghakimi Allah atas kejadian buruk yang menimpa hidupku hingga aku menjauh dariNya, jelas itu tidak benar. Ini memang sudah takdir yang harus kujalani, dan yang harusnya kulakukan adalah meminta pertolongan, perlindungan agar aku kuat menghadapi semua cobaan ini.
Aku patut bersyukur karena masih dilindungi dari perbuatan keji Reno yang nyaris memperkosaku, karena aku sudah putus asa saat itu. Inilah yang menjadi alasan kuat bagiku untuk melanjutkan hidup(Lagi). Ya Allah, kuatkan aku untuk menghadapi semua cobaan ini. Semoga dengan adanya ujian ini menjadikanku manusia yang lebih baik lagi.
"Jangan terlalu lama menangisi keadaan, karena bisa jadi yang kamu tangisi saat ini akan menjadi hal yang akan kamu syukuri esok"
Aku tertegun mendengar ucapan pria itu, pria yang sudah menolongku dari Reno, pria yang sekarang bertanggung jawab dalam pemulihanku, pria yang ternyata adalah putra dari dokter keluarga kami sekaligus teman SMA mba Dira.
Aku langsung menghapus kasar airmata yang membasahi wajahku, beginilah pekerjaanku. Duduk melamun meratapi nasib, tentu saja tanpa sepengetahuan keluargaku. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa tepat disampingku, aku yang masih trauma berdekatan dengan kaum pria otomatis bergerak menjauhinya. Dia menatapku dalam, tapi aku langsung membuang muka karena risih dengan tatapannya.
"Masalah ngga akan selesai hanya dengan menangis. Kamu harus bangkit dan jangan terpuruk terlalu lama, ini bukanlah akhir hidupmu."
Mendengar ucapannya membuat emosiku tersulut "Kamu jangan sok tau, kamu ngga tau apa-apa tentang perasaanku. Jadi jangan pernah menasehatiku," teriakku dengan linangan airmata, bicara memang mudah tapi sulit untuk dilakukan. Aku pun ingin segera bangkit, tapi apa yang bisa kulakukan kalau berinteraksi dengan orang lain saja aku selalu ketakutan. Aku tak mungkin selamanya merepotkan Ayah dan yang lainnya hanya untuk mengurusi hidupku.
Dokter Raihan berdiri dan menghampiriku yang masih menangis, saat ini memang hanya ada kami berdua dirumah. Ayah beserta tante Inggrid dan Rasya menghadiri undangan rekan bisnisnya sementara mba Dira masih berada di Surabaya menghadiri seminar.
"Kata siapa aku ngga tau apa-apa, aku ngerti banget perasaan kamu. Tapi coba kamu pikirin lagi, kamu hidup ngga sendirian. Ada keluarga kamu yang mengharapkan kamu bisa hidup lebih baik, kamu masih muda Gadiza, hidupmu masih panjang. Jangan sia-siakan kesempatan hidup yang sudah Allah berikan. Aku dan yang lainnya akan bantu kamu melewati semua ini. Hem..."
Aku kembali terisak, rasanya aku ingin menumpahkan segalanya yang menyesakkan malam ini juga agar esok tak ada lagi airmata. Aku lelah menangis, aku benar-benar lelah. Dia menarik tubuhku hingga perasaan hangat itu mengalir ke seluruh kulitku, tangannya melingkari punggungku dan menepuk-nepuknya perlahan menandakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Akhirnya malam ini aku bertekad akan menyudahi kesedihanku.
●●●
"Heii... kok sendirian. Mana Rasya?" Suara dokter Raihan membuyarkan lamunanku di hari Minggu ini yang rencananya akan kami lalui dengan bersepeda mengelilingi kompleks perumahan.
"Masih didalam, mungkin mengambil air mineral untuk bekalnya. Lagaknya seperti akan bersepeda mengelilingi jakarta saja." Sahutku yang sudah siap dengan sepedaku. Dia terkekeh mendengar ucapanku, lalu beranjak kembali ke mobilnya menurunkan sepeda yang masih berada di atasnya.
Kukayuh sepedaku menghampirinya sambil berteriak memanggil adikku yang super lelet itu. "Cepetan Cha.. nanti keburu siang." Rasya atau yang lebih akrab dipanggil Acha muncul dengan pakaian bersepedanya, pipinya terlihat lebih cubby karena pengait di helmnya sambil membawa air mineral, terlihat sangat lucu dan menggemaskan.
"Mba Diza bawel nih, Mas raihan ajah kalem. Yuk Mas...!!" Gerutuan bocah itu membuat kami tertawa, aku sudah terbiasa mendengar gerutuannya kalau-kalau aku memprotes keleletannya dalam hal apapun.
Sepeda kami melaju beriringan, Acha berada di tengah-tengah kami. Dengan santai kami mengayuh sepeda sambil sesekali bercanda, Acha nampak senang karena ini pertama kalinya dia bersepeda mengelilingi komplek, biasanya dia hanya diperbolehkan bersepeda di halaman rumah kami atau ditaman dekat rumah. Sementara aku lebih banyak bersyukur, dua bulan setelah pembicaraan aku dengan dokter Raihan yang berakhir dengan isak tangis dariku hidupku jauh lebih baik. Sedikit demi sedikit aku bisa berinteraksi dengan orang luar, kepercayaan diri yang sempat hilang pun bisa kumiliki lagi. Tidak ada manusia yang luput dari masalah, aku percaya aku bisa bahagia meskipun kebahagiaan itu akan terasa sulit untuk diraih sekalipun.
Kulirik seseorang di sebelahku, seseorang yang secara tidak langsung berhasil membawaku keluar dari keterpurukan. Mas Raihan, begitu aku memanggilnya sekarang. Setelah tugasnya sebagai dokter yang bertanggung jawab atas pengobatanku selesai dia tak lantas meninggalkanku, dia malah lebih rajin mengunjungiku yang memang belum punya kegiatan apapun setelah aku memutuskan untuk berhenti kuliah di kampusku yang lama. Aku pun mulai terbiasa dengan kehadirannya di rumahku, sehari saja dia tidak muncul membuatku uring-uringan. Sehari saja dia tidak menghubungiku baik telepon, bbm atau sms aku tidak bisa tidur semalaman. Kuakui aku berlebihan, tapi aku sudah terlanjur bergantung pada sosok Raihan Ardiansyah.
"Gimana, udah punya rencana mau kuliah dimana?" Tanya Mas Raihan disela-sela istirahat kami di bangku taman.
Aku menggeleng "belum tau Mas, aku malah sempet mikir untuk ngga melanjutkan kuliah lagi."
Dahi Mas Raihan mengernyit "Lho.. kenapa? Kamu masih takut?" Tebaknya yang langsung kubantah dengan gelengan kepala.
"Mungkin aku akan langsung mencari kerja saja, aku mau belajar mandiri."
Dilihat dari reaksi Mas Raihan, sepertinya dia tidak setuju dengan rencanaku.
"Mandiri bukan berarti harus berhenti kuliah, keluargamu keluarga berada, nilai akademismu di semester lalu juga mendukung. Jadi tidak ada alasan untuk tidak kuliah, kalaupun kamu mau mandiri kamu bisa kerja part time yang tidak mengganggu jadwal kuliahmu. Perlu kamu tahu, banyak orang yang tidak seberuntung kamu. Ingin kuliah tapi tidak ada biaya. Apa kamu tidak mensyukuri hal itu?"
Aku terdiam, mencerna semua perkataannya. Kutatap kedalam manik matanya, ada harapan besar tentangku disana.
Lagi-lagi dia berhasil membuatku merasa berarti, aku tak mau mengecewakannya terutama Ayah dan almarhum Bunda. Akhirnya aku mengangguk sambil tersenyum "keberatan tidak kalau aku minta temani ke kampus baruku nanti?"
Tangannya menyentuh kepalaku dan mengacak-ngacak rambutku "tentu saja tidak, kamu kan adikku." Dia lantas bangkit dari kursinya kemudian menyusul Rasya yang sedang bermain bola tak jauh dari tempat kami duduk.
Adik???
Kenapa aku sedih mendengarnya? Apa aku boleh berharap lebih padanya? Lebih dari sekedar adik? Adakah kesempatan untukku?
Kuharap iya.
TbC
Hoammmmm... lama banget nulis part ini. Konsentrasiku pecah antara baca atau nulis, kemaren udah jadi setengah tapi langsung kuhapus karena setelah dibaca ulang kok rada aneh gitu ceritanya. Ya walaupun ini tak kalah aneh dari sebelumnya, hehe
Salam,
Arfah_Lee
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadiza
Randomkeputusan Ayah untuk menikah lagi setelah bunda meninggal memberi kesan kalau dia sudah tidak menyayangiku lagi sebagai putrinya. Kakak perempuan yang kuharapkan bisa menjadi tempatku berbagi pun mengkhianatiku, dia menerima dengan senang hati kehad...