"Jadi ini benar kamu yang masak Diz?" Tanyanya saat menatap gurame bakar bumbu pedas yang baru saja kupanaskan.
Aku mengangguk "aku masak sesuai dengan resep yang mama kasih, tapi masih ngga begitu yakin dengan rasanya" jawabku sambil meyendokkan nasi beserta lauk pauknya ke piringnya.
Tanpa menunggu lama Mas Raihan langsung menyuapi nasi dan guramenya ke dalam mulutnya. Mengunyahnya dalam diam dengan ekspresi yang sulit kuartikan.
"Bagaimana, Mas?" Tanyaku tak sabaran "ngga enak yah?" tebakku saat melihatnya meletakkan sendok garpunya dengan pasrah.
Dia tersenyum "Enak." Ucapnya singkat kemudian melanjutkan lagi suapannya dengan semangat.
Aku tak percaya ucapannya, segera kucicipi masakanku. Sama seperti yang dilakukannya, diam tapi selanjutnya "Huh...hah..." segera kusambar air putih didepanku "pedes banget Mas" wajahku pasti sudah memerah karena kepedasan. Kenapa bisa sepedas ini sih?
Mas Raihan malah menertawakanku yang masih berHuhHah ria "Emangnya berapa kilo cabai yang kamu pakai?" Katanya mengejek "Tapi aku suka kok, lebih enak dari buatan Mama."
Dasar^^
Aku tersenyum mengingat kejadian tadi malam, karena sama-sama kelaparan akhirnya kami makan tengah malam dengan masakanku yang sudah terlanjur dingin dan harus dipanaskan terlebih dahulu. Gurame bakar bumbu pedasnya terbilang cukup berhasil karena Mas Raihan benar-benar menghabiskannya kecuali tulangnya pastinya. Aku patut bangga kan? Suamiku menyukai masakanku.
Mendengar kata suami membuat hatiku seakan melayang-layang, peristiwa tadi malam benar-benar jadi malam terindah buatku. Meskipun pada akhirnya kami ketiduran karena kekenyangan dan kembali menunda apa yang sudah seharusnya kami lakukan tiga bulan yang lalu, kalian pasti mengerti kan maksudku? Tapi aku tetap bersyukur karena setidaknya aku telah mendapatkan sesuatu yang berharga, sesuatu yang tak akan pernah kulupakan. Kusentuh bibirku yang sejak tadi pagi melengkung sempurna layaknya orang kurang waras, sampai-sampai temanku di kampus heran melihatku.
Saat ini aku sudah ada di ruangannya untuk membawakan makan siang, mendapat respon yang baik darinya membuatku ingin dan ingin lagi memasak untuknya dengan menu berbeda. Karena ternyata memasak itu menyenangkan, apalagi untuk seseorang yang sangat spesial.
Aku juga baru tahu dari suster yang tadi mengantarku keruangan ini, ternyata tadi malam Mas Raihan dan tim dokter lainnya benar-benar melakukan operasi mendadak yang berujung dengan nyawa si pasien yang tidak bisa tertolong lagi, aku jadi merasa bersalah karena sudah berburuk sangka padanya. Aku harus meminta maaf padanya nanti.
"Lho, Diza.. kamu kok ada disini?" Seru Mas Raihan terkejut, aku memang sengaja meminta pada suster Ani-kalau tidak salah- untuk tidak memberitahu perihal kedatanganku padanya.
Aku tersenyum seraya mengacungkan dua buah box makanan yang kubawa "Aku mau makan siang bareng sama Mas," tanpa menunggu tanggapan darinya kutarik lengannya dan menyuruhnya duduk di sofa "Mas kan paling suka sama seafood jadi aku coba buatin Udang Goreng Tepung, yah masih taraf coba-coba sih." Kataku sambil membuka dua box tersebut.
Dia mendengus "Jadi kamu mau bilang kalau Mas ini adalah kelinci percobaan kamu?" Katanya sambil memicingkan mata.
Aku mengangguk tanpa rasa sungkan sedikit pun, sebenarnya aku sama sekali tak bermaksud seperti itu. Makanan yang akan aku berikan untuknya tentu saja sudah kupraktekan sebelumnya dengan Mama Inggrid sebagai mentorku, dan menurut Mama Inggrid rasanya lumayan enak.
"Isteriku semakin pandai saja memasak," ucapnya setelah menghabiskan suapan pertama, lalu mengusap kepalaku yang terbalut hijab dengan lembut. Kurasakan hatiku menghangat mendapat perlakuan seperti ini darinya, terutama saat dia menyebut kata 'Isteriku'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadiza
Randomkeputusan Ayah untuk menikah lagi setelah bunda meninggal memberi kesan kalau dia sudah tidak menyayangiku lagi sebagai putrinya. Kakak perempuan yang kuharapkan bisa menjadi tempatku berbagi pun mengkhianatiku, dia menerima dengan senang hati kehad...