Raihan Ardiansyah keluar dari ruangan profesor yang menjadi pembimbingnya dalam penulisan tesisnya dengan senyum lebar, pria berpostur tinggi tegap itu memang sedang menyelesaikan program S2 fakultas kedokteran. Saat ini dia sudah bekerja di RS Harapan, meski masih terbilang junior tapi dia sudah memilik banyak pengalaman karena sering memdampingi para dokter senior untuk melakukan operasi. Menjadi seorang dokter adalah impiannya sejak kecil, papanya yang memang dokter mungkin sedikit banyak telah menginspirasinya.
Saat berjalan melewati gudang yang memang selalu dalam keadaan sepi, Raihan merasa curiga dengan keberadaan sosok pria bertubuh tambun di depan gudang, dilihatnya pria itu memegang kunci dengan wajah tegang.
"Ngapain berdiri disini Bang, apa ada sesuatu yang mau diambil di gudang?" Tanyanya pura-pura. Pria itu semakin tegang, kunci yang dipegangnya pun terjatuh. Kecurigaan Raihan makin bertambah saat pria itu mengambil kuncinya lalu berlari dengan kencang meninggalkan Raihan yang terlihat bingung. Bukan hal penting mengejar pria pengecut itu, dia malah khawatir dengan apa yang terjadi didalam sana. Namun ruangan itu kedap suara hingga ia tidak bisa mendengar apapun disana.
Dengan sekuat tenaga Raihan mendobrak pintu dan menendangnya dengan keras, dia terkejut bukan main saat melihat seorang pria menindih seorang wanita yang menjerit sambil menangis.
Tanpa pikir panjang Raihan langsung meraih kerah baju si pria dan menghajarnya seperti orang kesetanan, meski pria itu melawan namun tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Raihan yang memang memiliki basic ilmu bela diri. Setelah membuat pria itu babak belur dan terkapar dilantai, Raihan langsung mendekati wanita itu untuk menolongnya. Namun yang didapatnya wanita itu malah menangis sambil berteriak "Jangan... Jangan... Jangan... " Raihan melihat sudut bibir wanita itu berdarah dan kedua pipinya memar.
"Kamu terluka dan harus diobati. Ayo..!!" Raihan langsung membopong tubuh si wanita dan segera membawanya ke Rumah Sakit terdekat.
"Aku sudah hubungi Ayahmu, maaf tadi aku terpaksa mengutak-atik ponselmu untuk mencari nomor telepon keluargamu. Kamu sudah merasa lebih baik, Gadiza?" Tanya Raihan menatap Wanita yang baru saja dia ketahui namanya dari kartu mahasiswanya.
Diza tidak merespon perkataan Raihan, dia hanya menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Wajahnya masih pucat pasi sangat kontras dengan luka memar yang membiru di kedua pipi dan sudut bibirnya. Raihan memutuskan untuk tidak bertanya lagi karena percuma saja, pikiran Gadiza sedang melayang entah kemana. Dia pun akhirnya memilih untuk duduk di sofa yang tersedia di ruangan tersebut sambil menunggu kedatangan Pak Wiratama, ayah Diza.
"Diza...... apa yang terjadi? Ada apa dengan wajahmu Nak? Siapa yang berbuat seperti ini sayang? Jawab Diza...!!" Kata Pak Wira sambil meraih Diza dalam pelukannya.
Diza masih tak bergeming, meski matanya sudah berkaca-kaca namun dia masih membisu. Sepertinya Diza enggan bicara pada siapa pun termasuk ayahnya. Dia lebih memilih memendam semuanya sendiri.
"Maaf om, apa om Ayahnya Gadiza?" Sela Raihan ditengah serentetan pertanyaan pak Wira terhadap putrinya. Pak Wira menoleh ke arah Raihan "Kamu yang tadi menelepon saya?" Raihan mengangguk pelan.
Pak Wira benar-benar tak menyangka atas apa yang sudah menimpa putrinya, Raihan sudah menceritakan semuanya. Dan pak wira pun akhirnya menceritakan kejadian serupa yang terjadi dua bulan lalu pada Raihan.
"Saya turut prihatin atas apa yang sudah menimpa putri om, semoga Gadiza tabah dan tegar menghadapi semua ini. Om yang sabar yah!!"
Pak Wira menepuk bahu Raihan "Om juga sangat berterima kasih pada kamu Raihan, entah apa yang akan terjadi jika kamu tidak menolongnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadiza
Randomkeputusan Ayah untuk menikah lagi setelah bunda meninggal memberi kesan kalau dia sudah tidak menyayangiku lagi sebagai putrinya. Kakak perempuan yang kuharapkan bisa menjadi tempatku berbagi pun mengkhianatiku, dia menerima dengan senang hati kehad...